Minggu, Februari 26, 2006

Eh, ketemu lagi!

Kalau kita sedang jalan-jalan sendirian di mal atau membuat janji ketemuan paling enak dan nyaman kira-kira di mana? Kalau aku kok paling cocok di toko buku yah. Di samping tidak bengong sendirian kita juga bisa mendapat informasi dengan baca-baca buku atau majalah yang ada.

Sama ketika jaman SMP dulu. Ketika pulang sekolah kita tidak langsung pulang tapi mampir dulu ke sebuah toko buku ternama, sebut saja Toko Buku Je. Ketika itu kita pulang sekolah sekitar pukul 13.30, sambil menunggu sore, kita berombongan menuju toko buku itu. Asyik, ramai-ramai dan kita bisa membaca buku dengan gratis, walau dengan catatan harus membaca sambil berdiri, dilarang keras duduk apalgi lesehan! ^^

Ketika itu ada sebuah momen yang cukup unik dan selalu terkenang. Ketika kita sedang asyik membaca di toko buku itu, tiba-tiba lampu toko padam, sekitar lima menit kemudian lampu hidup lagi. Nah, ketika lampu hidup lagi itulah tiba-tiba ada seorang karyawan yang menggelandang oknum pelajar ke dalam sebuah ruangan.

Usut punya usut ternyata oknum pelajar itu tertangkap basah mencuri buku pas ketika lampu toko tadi padam. Ternyata padamnya lampu tadi disengaja untuk memancing para oknum pengunjung toko yang berniat mencuri. Si oknum pelajar tadi ternyata sudah diamati dan dicurigai sebelumnya. Terjebaklah dia.

Mungkin saat itu penggunaan kamera CCTV belum lumrah. Jadi pengawasan masih secara manual dengan petugas toko yang berjalan hilir mudik dengan ID Card-nya dan menerapkan cara-cara yang cukup unik.

Ada satu hal lagi ketika masa SMP yang cukup mendenyarkan, dimana ada seorang teman punya kebanggaan tersendiri jika dia berhasil mencuri buku di toko tanpa berhasil diketahui oleh pihak keamanan. Ckckckckck…

Lain dulu lain sekarang.

Pada suatu sore yang cerah awal Januari 2006, aku sempat mampir ke sebuah mal di daerah Jakarta Selatan. Dan tujuan utamanya adalah ke toko buku, kebetulan Toko Buku Je juga. Ketika itu memang berniat untuk mencari buku untuk kado ulang tahun. Yap, kado yang paling enak dan tidak membingungkan ketika kita memilih adalah berbentuk buku! Hehehehehe….

Setelah mendapatkan dua buah buku yang dicari, akhirnya aku putuskan melihat-lihat buku lain yang mungkin bisa menambah koleksi. Akhirnya jalan dari satu rak buku ke rak buku yang lainnya. Dari buku-buku novel sampai buku-buku resep masakan. Hihihi…sedaaaap.

Ketika berjalan dari satu rak ke rak yang lain itulah ada sebuah pemandangan yang agak janggal. Lihat gambar 1. Di situ terlihat mas-mas yang sedang membaca buku. Semula terlihat wajar saja. Tidak mulai wajar ketika pandangan matanya penuh selidik, awas, dan mencurigai setiap gerakan yang menjurus ke arah pencurian.

Image hosting by Photobucket
Gambar. 1

Setelah aku lihat dari arah depan, samping, dan belakang, akhirnya aku simpulkan bahwa mas itu adalah petugas toko buku yang biasa disebut dengan pengamanan dalam, dalam hal ini pengamanan yang tidak nampak. Semacam intel gitu lah…

Image hosting by Photobucket
Gambar. 2

Setelah aku sempat berbalas pandang dengan mas itu, dia akhirnya pindah ke rak yang lainnya, masih dengan mata menyelidik dan akting membaca-baca bukunya. Nah, di gambar 2 itulah rak yang kemudian dituju. Kalau mbak-mbak berkaos putih di sebelah kanan itu hanya ketidaksengajaan terpotret, maklum gerakan dibawah sadar. Hehehehe….ya nggak, Mas? :p

Kok aku bisa tahu mas-mas itu intel di toko buku itu? Ya tahu aja. Maklum, dulu waktu sekitar tahun 98-an di kampus banyak intel-intel berkeliaran mengawasi gerakan mahasiswa bahkan ada yang ikut menjadi mahasiswa juga. Jadi ya bisa langsung tahu ciri-cirinya.

Mungkin benar apa yang dikatakan orang-orang bahwa intel kita itu masuk kategori intel Melayu. Dimana seharusnya sebagai intel kita tidak boleh terlihat identitas kita, namun yang terjadi di sini malah para intel itu seakan-akan ingin menunjukkan bahwa dia intel. Contoh kasus, klik ini! ^^v

Mas-mas berbaju putih ini dengan rambut cepak, kaos agak ketatnya, badan agak kekarnya, celana kain hitam dengan paduan sepatu kets-nya terlalu mencolok untuk dikatakan tidak ingin diketahui sebagai tenaga pengamanan.

Eh, lha kok ya kemarin pas hari Sabtu, 25 Februari 2006, aku berjumpa kembali dengan mas-mas intel itu di toko buku yang sama. Saat itu penampilannya beda dengan yang dulu, terutama pakaian yang dikenakan. Karena aku terburu-buru, tidak sempat mengambil gambar mas-mas itu. :)

Btw, aku salut juga dengan pekerjaan mas-mas itu. Capek lho kalau harus berdiri berjam-jam di toko dengan tetap harus menjaga konsentrasi. Jadi, selamat berjumpa lagi deh, mas denganku kalau pas ke toko buku!

Salam!

Sabtu, Februari 18, 2006

Senandung

Yuk! Nyanyi, yuk!!!

Siapa Gerangan Dirinya

Aku sayapnya… tambatan hatinya
Yang mengilhami tiap langkah hidupnya
Begitu adanya… dalam goresan pena
Ia suratkan berkala untukku
Tak sekalipun kujumpai dia

Tak pernah berhenti mencintaiku
Seluruh jiwa raga meskipun samar
Siapakah gerangan dirinya

Aku nafasnya mungkin pula nadinya
Kan menjaga denyut jiwanya
Berartinya aku dimata hatinya
T’lah meniupkan cinta sejatinya
Sungguh enggan ia merelakan aku

Tak pernah berhenti mencintaiku
Seluruh jiwa raga hati meskipun samar
Siapakah gerangan dirinya

By Padi.

...

Oke, yah, lagunya Padi...dalam...bikin merinding...bikin merenung...hehehe...

Bicara bersenandung, paling enak ketika kita lagi ngapain, yah? Ketika sedang memasak, mencuci baju, menyetrika, menimba air, atau ketika mandi?

Kalau aku sih paling pas ketika sedang menyetrika. Wah, kalo sudah ada lagu mengalun, kita sambil bersenandung, pekerjaan menyetrika terasa ringan, terasa lebih cepat selesai, dan yang pasti terasa lebih "adem" lahir batin. ;)

Image hosting by Photobucket

Tapi ini yang agak berbahaya ketika kita menyetrika sambil bersenandung: membuat kita tersenyum-senyum simpul sendirian! ^^

Minggu, Februari 12, 2006

CPNS

Hari Sabtu, 11 Februari 2006 kemarin serentak di seluruh Indonesia diadakan tes tertulis untuk para CPNS. Ya, CPNS, Calon Pegawai Negeri Sipil.

Image hosting by Photobucket
Situasi tes CPNS di Stadion Bung Karno.

Jumlah yang mengikuti tes tersebut lumayan banyak, ratusan ribu. Menyebar untuk berbagai instansi pemerintahan.

Dengan jumlah seperti itu, tes tersebut menggunakan berbagai tempat yang ada di masing-masing kota. Kebanyakan memanfaatkan sekolah, gedung pemerintah, maupun stadion olahraga.

Nah, yang menjadi perhatianku adalah pilihan yang terakhir itu. Stadion olahraga, stadion terbuka tentu saja.

Membaca berita foto di harian ini pada hari Minggu, kepalaku langsung ikut pening. Bagaimana tidak, pada pelaksanaan tes CPNS di kota Medan yang menggunakan fasilitas stadion Teladan, sebanyak 11 peserta jatuh pingsan sebelum selesai mengerjakan soal-soal tertulis itu.

Mereka pingsan karena tidak kuat berada di bawah terik matahari dari jam 8 pagi sampai selesai tes pada pukul 13.30. Ada jeda istirahat siang memang, tapi bagaimana bisa sebuah tes yang mengharuskan kita berkonsentrasi penuh dan memiliki konsekuensi yang nyata sebagai syarat kelulusan dilewati dengan cara demikian? Masih mending pas kita di-Ospek. Ini sudah dipanas-panasin, disuruh mikir lagi! hehehehe... ^^V

Image hosting by Photobucket
Episode "semaput" di Medan itu.

Ada yang salah di sini ketika memutuskan menggunakan fasilitas stadion itu. Okelah demi efisiensi biaya. Okelah demi kita yang terbiasa hidup di alam tropis yang cenderung panas ini. Kalau untuk kegiatan kampanye pilkades atau tontonan musik ndangdut sih tidak masalah. Lha ini untuk tes CPNS?

Kalau diadakan di Stadion Gelora Bung Karno Senayan, San Siro, atau Allianz Arena sih gak masalah. Lumayan sejuk. :)

Bisa dibayangkan rusuhnya kalau tiba-tiba turun hujan di stadion yang disesaki 15.000 peserta tes. Dijamin bakal berlarian atau yang apes lagi kertas ujian akan hancur lebur kena air hujan. Mengenaskan lagi kalau situasi yang tidak terkendali menyebabkan mereka kalut dan bisa saling menginjak dan berhimpitan!

Memang tidak terjadi di semua kota. Tapi satu contoh itu di masa yang akan datang harus tidak boleh terjadi lagi. Dengan sebuah awalan yang tidak beres seperti itu, entah proses berikutnya.

Salam!

Minggu, Februari 05, 2006

Rasa Aman

Apa ya definisi rasa aman itu? Apakah sebuah rasa dimana kita merasa dapat melakukan segala hal tanpa ada gangguan sama sekali? Ataukah rasa dimana kita akan merasa tenang jika apa yang kita miliki tidak diusik oleh orang yang tidak kita kehendaki? Ataukah perasaan yang nyaman dimana kita tidak mempunyai prasangka yang buruk kepada seseorang? Atau…??? Apakah…??? Pertanyaan yang terus menggelayut.

Perasaan aman atau tidak aman mungkin baru kita rasakan ketika aktivitas kita terganggu oleh sesuatu yang ekstrim. Misal: seseorang yang mengambil sandal jepit kesayangan kita yang ditaruh di depan pintu rumah, ada pencoleng di lampu merah yang tiba-tiba menggetok kaca mobil kita kemudian meminta agak paksa benda berharga milik kita, penjambret yang tiba-tiba merebut tas ketika kita sedang asyik menunggu bis di halte, bahkan oleh benda mati semisal pohon yang rantingnya tiba-tiba jatuh nyaris menimpa kepala kita.

Image hosting by Photobucket

Untuk selalu memikirkan rasa aman itu ternyata banyak enerji yang harus kita keluarkan. Terutama enerji psikis. Kita kemanapun, dimanapun, sedang apapun akan selalu memikirkan hal itu. Kita akan merasa lelah. Harga itu mungkin yang harus kita bayar jika kita tidak mendapat jaminan bahwa kita merasa aman.

Untuk mendapatkan jaminan rasa aman itu mungkin kita harus mengorbankan sesuatu. Misalnya untuk rasa aman di rumah kita memperkerjakan seorang tenaga satuan keamanan; untuk uang, kita harus bersedia pergi ke bank atau meluangkan waktu ke ATM; untuk menyeberang jalan kita harus bersedia naik ke jembatan penyeberangan; atau sekadar menyediakan flash disk atau hardisk eksternal untuk back up file kita yang ada di komputer.

Terlalu memikirkan rasa aman itu sendiri ternyata akan berakibat negatif juga. Membuat kita tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak berani melakukan aktivitas apa-apa.

Sebagai solusi mungkin sikap waspada yang bisa kita lakukan. Waspada memang tidak bisa begitu saja kita lakukan. Waspada dengan bekal pengalaman akan segala hal menjadi penting. Waspada tanpa perhitungan juga akan sia-sia.

Contoh kecil dapat kita lihat ketika berhadapan dengan pengemis anak kecil yang banyak bertebaran di jalan raya. Dengan wajah lusuh dan lugunya mungkin bisa membuat kita trenyuh. Namun kalau kita perhatikan, mereka melakukan hal itu tidak dengan sendirinya, namun mereka dikerahkan dengan sengaja demi keuntungan pihak tertentu saja. Waspada dengan tetap “melihat” dan “mendengar”.

Aku sontak kembali memikirkan “rasa aman” kembali ketika terjadi sesuatu hal yang agak berlebihan mungkin. Dua hal saja aku ambil contoh.

Yang pertama ketika dalam perjalanan pulang kantor sahabatku harus merelakan tasnya diambil paksa oleh pencoleng saat ketika berjalan di dekat markas pasukan elit ini. Aku heran, pencoleng itu memang nekat sekali, atau karena situasi yang memungkinkan ketika kita akan merasa aman-aman saja berada di dekat markas itu. Tanpa tetap bersikap waspada ketika membawa tas milik kita.

Yang kedua kejadian yang belum lama terjadi. Sebuah mobil yang berada di garasi berhasil dibawa kabur oleh pencurinya. Mungkin itu hal yang biasa terjadi di Jakarta maupun kota-kota besar lainnya. Yang tidak biasa adalah kejadian itu terjadi pada rumah yang letaknya satu jalan dengan rumah pribadi pimpinan tertinggi institusi ini.

Wah, kok bisa, yah?

Ada sebuah ungkapan yang kebetulan sama dari dua sumber yang berbeda sebagai tanggapan ketika aku menanyakan mengapa dua kejahatan hal itu bisa terjadi. Yaitu salah ketika kita merasa aman berada di dekat sebuah tempat yang kita duga akan memberikan rasa aman untuk diri kita. Karena amannya atau wibawa dari tempat-tempat itu hanya berlaku bagi institusi maupun orang yang berada di tempat itu. Belum tentu berlaku bagi kita yang berada di luar lingkup. Hal itulah yang membuat kita berkurang “rasa waspada”nya.

Jadi kangen dengan suasana ronda di kampung-kampung. Dimana semua warga kampung merasa saling memiliki, saling menjaga, sehingga rasa aman terbangun. Semua dijalankan tanpa pamrih, walau mungkin kita harus merelakan tiap malam menyediakan sejumput beras sekadar untuk pengganti biaya operasional ronda. Kita akan merasa aman dan tenang di lingkungan itu dengan situasi “waspada bawah sadar” yang terbentuk dari sikap kekeluargaan yang kental itu.

Berangkat dari situasi tersebut, mungkin para pencoleng akan merasa risih sendiri ketika akan bertindak, karena akan dihadapkan pada situasi bagaimana jika keluarga atau saudara si pencoleng itu mengalami tindak kejahatan juga. Walau selama ini kita lebih banyak dihadapkan pada sikap untuk maklum bahwa mereka mencoleng hanya demi sesuap nasi untuk perut mereka dan anak istrinya. Sebuah kenyataan yang kadang menimbulkan senyum getir, bahkan ketika melihat langsung aksi mereka. Yah, senyum kehidupan.

Waspodolah! Waspodolah! Waspodolah!