Sabtu, Agustus 19, 2006

Bernafas Dalam Lumpur

Photobucket - Video and Image Hosting

Ketika muncul semburan gas asam sulfida (H2S) pada sumur eksploitasi gas Sukowati tanggal 29 Juli 2006 lalu di Bojonegoro, polisi bertanya pada para insinyur geologi yang kini duduk sebagai tersangka dalam kasus semburan lumpur Lapindo Brantas, Sidoarjo. "Bagaimana asal-muasal semburan gas di Bojonegoro?" ujar polisi.

Salah seorang tersangka, dengan nada menggerutu menjawab, "Kalau nama saya sampeyan lepas dari daftar nama tersangka, ilmu geologinya bisa saya terangkan."

Cerita ini telah menjadi "humor hitam" di kalangan praktisi pengeboran, para ilmuwan geologi, dan mereka yang kini "nyaris putus asa" mencari cara menanggulangi semburan lumpur Lapindo yang pelan tetapi pasti seolah hendak menenggelamkan sebagian Kabupaten Sidoarjo itu.

Situasi tersebut juga sekaligus menunjukkan, betapa sebagian besar warga di Sidoarjo saat ini tidak tahu apa yang bisa diperbuat terhadap lumpur panas itu.

...???

* dikutip sebagian dari sini.

Jumat, Agustus 18, 2006

SEPASANG MATA BOLA

Photobucket - Video and Image Hosting

Hampir malam di Jogja
Ketika keretaku tiba
Remang-remang cuaca
Terkejut aku tiba tiba

Dua mata memandang
Seakan akan dia berkata
Lindungi aku pahlawan
Dari pada sang angkara murka

Sepasang mata bola
Gemilang murni mesra
Telah memandang beta
Di stasiun Jogja

Sepasang mata bola
Seolah olah berkata
Pergilah pahlawanku
Jangan bimbang ragu
Bersama doaku

>> buah karya: Ismail Marzuki.

Sebuah lagu yang romantik, heroik, sekaligus patriotik. Karya-karya Ismail Marzuki terkenal sederhana, syairnya yang sangat kuat, melodius, dan punya nilai keabadian. Merdeka!

Kamis, Agustus 17, 2006

Empat rasa, sejuta asa

Photobucket - Video and Image Hosting

Judul : Ortu Kenapa, Sih?
Editor : Benny Rhamdani
Penerbit: Penerbit Cinta


Kalau kita melihat hubungan orang tua dan anak, akan tampak sebuah hubungan yang unik. Unik dalam artian memiliki makna yang dalam dan kompleks.

Seperti yang tertuang dalam buku kumpulan kisah nyata para anggota komunitas Blogfam ini: Teen World – Ortu Kenapa, Sih? – yang diterbitkan oleh Penerbit Cinta.

Betapa tidak, untuk menggambarkan bagaimana hubungan orang tua anak atau bagaimana orang tua mendidik anaknya ketika masih belia bisa digambarkan dalam 4 macam “rasa”: Hobi vs Ortu; Pilihan vs Nyokap; Kenapa Bokap; dan Berakhir Indah.

Digambarkan di sana, orang tua mana yang tidak menginginkan seorang anak yang berbakti kepadanya. Sekaligus diharapkan memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan. Ditambah lagi bisa berguna untuk dirinya, keluarga, dan bangsanya. Sebuah keinginan yang sempurna.

Secara pribadi mungkin aku tidak mengalami hal yang se-ekstrim seperti yang dialami oleh Lili (Aduh… Sakitnya), karena kebetulan aku juga mulai menggeluti hobi basket ketika masa-masa SMP. Orang tua, terutama bapak, tidak pernah secara ketat mengawasi kegiatan basketku, juga ketika menginjak kelas 3 ketika akan memasuki masa ujian akhir.

Namun empati yang ditimbulkan dalam kisah Lili begitu terasa bagiku. Bagaimana ketika semangat untuk basket sedang menggebu-gebu, namun di sisi lain ada pihak orang tua (sekali lagi seorang bapak) yang menginginkan basket bukan sebagai hobi yang harus digeluti. Sebuah keputusan yang berat bagi seorang ABG yang sedang “ranum-ranumnya”.

Untuk mencapai tahap sempurna itulah yang kadang menimbulkan bermacam gejolak hubungan antara orang tua dan anaknya. Ada kala seorang anak menuruti kata orang tuanya, ada pula kala dimana kata hati sang anak menjadi panduan langkah hidupnya.

Kadang hal itu harus dikecap oleh seorang Sam (Saatnya Menjadi Diriku). Bayangkan ketika memasuki masa ujian, ada beban yang lebih berat disamping bahan ujian yang harus diselesaikan. Yaitu pilihan yang menggelayuti pikiran: pilihan orang tua atau pilihan hati nurani sang anak.

Namun, seperti yang tertulis dalam pengantar buku OKS, rujukan dan masa yang berbeda bisa menyebabkan segala sesuatu tidak bisa seperti yang diharapkan. Rasa posesif orang tua terhadap seorang anak, apalagi terhadap anak tunggal, kadang bisa dianggap memberikan “kacamata kuda” orang tua terhadap situasi dan kondisi luar yang membuat seorang anak membuat pilihan atau diberikan pilihan.

Yang menjadi salah satu poin penting di buku ini adalah ketika penggambaran seorang anak yang memahami pilihan orang tua (dalam hal ini ibu di Ransel Pilihan Ibu) cukup menarik dijadikan salah satu poin penting.

Seingatku, tidak gampang seorang anak ABG bisa berubah pikiran dan menerima apa yang sudah menjadi pilihan ibunya, ketika pilihan itu akan menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Dimana hal itu harus dijalani pula dengan perjuangan pulang ke rumah yang berjarak puluhan kilo dari tempat dia belajar.

Di dalam masyarakat Indonesia yang dikenal ramah-tamah, suka tolong menolong, mudah diajak bergotong royong, dan memiliki ikatan sosial yang kuat, terutama di daerah, ternyata memberikan efek yang sungguh berat bagi seorang Ryu Tri (Sepotong Maaf).

Kondisi masyarakat kita harus diakui banyak yang suka menolong juga, namun menolong dalam hal mengabarkan atau memperbincangkan tentang orang atau masalah yang menimpa orang di sekitarnya. Biasa dikenal dengan istilah menggosip.

Betapa seorang Ryu Tri harus “menundukkan” muka setiap keluar dari pintu rumah demi merasa menjadi omongan para tetangga ataupun teman sekolahnya ketika hadir ibu yang kedua. Namun kebesaran hati seorang ibu dan posisi sebagai anak sulung di dalam keluarganya, mampu meneguhkan hati seorang Ryu untuk menyelesaikan masalah dengan bapaknya. Hasilnya sungguh mengharukan. Seorang anak yang justru harus mampu dan bisa memahami kondisi bapaknya, dengan jalan yang terkesan sepele: mau untuk berkomunikasi.

Apakah konflik bisa timbul antara orang tua dan anak saja? Tidak. Ternyata yang cukup potensial menimbulkan konflik di dalam keluarga juga bisa timbul antar saudara kandung. Bisa muncul secara langsung maupun tidak. Bisa secara implisit maupun eksplisit.

Dan hal apa sih yang membuat kita ingin kembali ketika berada jauh dari tempat asal kita? Ya, suasana rumah kita. Tempat keluarga kita tumbuh bersama. Apapun situasi dan kondisi yang ada, konflik yang terjadi, rumah selalu membuat kita ingin kembali. Prakoso Bhairawa Putera S. memberikan gambaran itu. Apalagi dengan saudara yang jumlahnya banyak, suatu konflik intern selalu mengintip setiap hari.

Secara keseluruhan, buku ini memberikan panduan dan pedoman yang baik untuk sasaran pembacanya. Memang, memasuki usia “teen” diperlukan sebuah pegangan yang tepat, diluar bimbingan orang tua tentu saja. Pegangan yang inspiratif, empatif, persuatif, dan sugestif.

Jadi, orang tua juga perlu baca buku ini, lho! :-)

Selasa, Agustus 08, 2006

Rabu, Agustus 02, 2006

Karangwuni-Pleret Bantul, Minggu, 30 Juli 2006

Tepat dua bulan sudah sejak gempa 5,7 skala richter itu terjadi. Akhirnya bisa berkunjung ke tempat saudara yang menjadi korban langsung dari peristiwa alam itu.

Semua yang sejak semula menjadi tanda tanya dan sekadar khayalan, hari itu semua terlihat langsung. Mungkin agak terlambat ketika baru hari itu bisa menjenguk ke lokasi bencana.

Tapi setelah melewati sore melintasi malam yang dingin itu, aku justru merasa waktu itu yang pas berkunjung, paling tidak buat aku.

Paling tidak, secara psikis, kondisi saudara-saudaraku dan para tetangganya jauh lebih bisa menerima musibah itu saat ini. Walaupun secara fisik, terutama bangunan tempat tinggal mereka masih porak-poranda. Beberapa dari mereka semua masih tidur di tenda. Sampai saat ini.

Rumah darurat Kang Fauzan, saudara yang biasa memperbaiki rumahku, ikut jadi korban.

Yang membuat aku terharu, mereka sudah bisa kembali ke kondisi semula. Tertawa, becanda, bahkan kadang mentertawai kondisi mereka tanpa bermaksud saling melecehkan. Banyak mereka ungkapkan cerita lucu di balik musibah yang menimpa mereka. Mereka seperti mempunyai teman bercerita, di luar orang-orang di sekeliling mereka selama ini.

Mereka sudah sangat bersyukur sekali masih diberi keselamatan. Harta bukan segalanya. Mereka sangat menyesali adanya penjarahan bantuan yang dilakukan oleh para korban gempa. Dimana sepupuku mengalami sendiri ketika dicegat oleh beberapa korban gempa ketika akan menyalurkan bantuan. Dia diberi pilihan, barang-barang diserahkan penjarah atau nyawa melayang. Karena pedang sudah dihunus, maka bantuan itupun akhirnya dilepas.

Agak mengerikan sebenarnya cerita yang mereka sampaikan. Ada beberapa saudara yang selamat tanpa mengalami luka di tubuh, justru ketika gempa terjadi mereka tidak berlarian kesana-kemari, hanya berdiam diri. Pakdhe, kakak dari ibu, harus mengalami tembok rumah rubuh di samping, depan, dan belakang tubuhnya. Namun, karena berdiri tepat di kolong pintu, maka terhindarlah dari rubuhan tembok rumahnya.

Pakdhe Bisri dan Kang Fauzan di depan langgar simbah yang roboh bagian imamnya.

Demikian juga dengan kakak sepupuku, kemarin masih bisa bertemu dengannya, walau ketika gempa terjadi harus tertimpa atap rumah dan kepala bersimbah darah. Berhasil selamat dengan cara merangkak di lantai diantara debu-debu pengap yang beterbangan.

Ada satu orang saudaraku yang menjadi korban, terlempar dari lantai dua rumahnya, justru ketika sudah keluar rumah, dan masuk kembali untuk mengambil sesuatu.

Ketika disinggung tentang bantuan gempa, serentak mereka semua mengulum senyum. Senyum kecut. Ternyata bantuan gempa yang dijanjikan oleh bapak wakil presiden, selaku ketua Bakornas, belum sampai ke tangan mereka secara utuh.

Bapak wapres berjanji akan memberikan bantuan sebesar 30 juta, 20 juta, dan 10 juta bagi para korban gempa sesuai kondisi kerusakan tempat tinggal. Pada kenyataannya, mereka disamaratakan semua, semua hanya mendapat 5 juta rupiah. Dan belum semua menerima.

Aku datang sekitar waktu Ashar, dan rencana kembali ke rumah di kota sekitar sebelum maghrib. Namun ada sedikit keingintahuan yang mengurungkan niatku untung pulang lebih awal. Ingin merasakan malam di tempat yang serba terbatas itu.

Ya, Tuhan. Dingin. Dingin sekali. Angin malam begitu bebas masuk ke tempat tinggal darurat itu. Hari itu kebetulan tidak hujan, langit cerah lengkap dengan bintang malamnya, dihiasi juga dengan bulan sabit yang indah. Dan mereka tetap melewatinya dengan hati yang lapang. Aku hanya bisa diam.

Karena besok pagi buta harus kembali ke Jakarta, akhirnya sekitar pukul 10 malam aku putuskan untuk pulang.

Saling bertukar kabar, itu yang mereka pesankan ketika pamit pulang. Mereka juga sangat khawatir ketika sebagian Jakarta diguncang gempa. Mereka sendiri tidak ingin aku mengalami musibah seperti yang mereka alami.

Di sepanjang jalan Bantul-Kota itu aku masih harus melihat para korban yang harus tidur di tempat yang sangat terbatas. Kebetulan saat itu aku naik sepeda motor. Angin malam menusuk tulang sampai tubuh menggigil.**

Ini bukan sosok TKI, tapi seorang biasa saja yang sedang njingkrung, disiram dinginnya Jogja :)