Orang, kalau sudah merasakan sesuatu yang lebih nyaman, untuk merasakan kembali sesuatu yang kurang nyaman, kok, merasa malas menjalani, yah? Gak usah ngomongin orang, diri sendiri aja lah! =)
Misal, dulu kalau ke mana-mana di Jakarta naik angkutan bis kota Metromini atau Kopaja, setelah ke mana-mana sekarang naik sepeda motor atau mobil ataupun taxi, keinginan untuk naik Metromini menjadi malas. Atau minimal terlalu banyak alasan untuk tidak ingin naik Metromini lagi.
Situasi penumpang yang penuh sesak, kondisi pengap bis kota, bahkan ancaman gerayangan para copet yang selalu menghantui benar-benar bisa menjadi sisi pembenar untuk tidak naik Metromini (lagi).
Mungkin itu bisa disebut manusiawi untuk merasa nyaman dengan apa yang sudah dirasakan saat ini, dan enggan untuk merasa kurang nyaman (kembali).
Entah sebuah keberuntungan atau sesuatu yang harus dialami ketika dulu pernah merasakan berbagai macam angkutan umum yang beroperasi di Jakarta ini.
Setiap moda angkutan memberikan sensasi yang luar biasa. Ya, penumpangnya, ya, situasi dan kondisi kendaraannya. Kalau istilah orang yang sedang jatuh cinta, berjuta rasanya, lah!
Setelah gresek-gresek di sana-sini, berbagai angkutan bisa kudapatkan gambarnya. Masing-masing moda angkutan ada kisah yang mengiringinya. Ada yang pernah kunaiki, ada juga yang sebatas dilihat. Seperti terlihat pada gambar di bawah ini:
1. Angkot: Biasa digunakan ketika mengawali perjalanan menghabiskan hari-hari di Ciputat. Nomor lambung angkot DO-1 selalu memberikan sinonim yang mesra; Angkot Doi! Dulu pp jauh-dekat sekitar 1500. Setelah BBM naik, ongkos angkot pun ikut naik, menjadi sekitar 2000 pp.
2. Bajaj: Selalu memberikan solusi paling ideal untuk menembus keruwetan lalu lintas Jakarta tanpa takut kehujanan. Walaupun tidak memberikan jaminan tidak akan terkena cipratan air dari mobil yang melintas di samping bajaj.
Salah satu kenangan terindah adalah ketika bajaj masih diizinkan melintas di halaman Monas. Ketika itu malam tlah merayap melingkupi ibu kota, dari stasiun Gambir dengan bajaj menembus keangkuhan pijar puncak Monas menuju kawasan Thamrin, untuk berganti angkutan ke bus kota jurusan Blok M.
3. Becak: Belum pernah sama sekali selama di Jakarta naik becak. Beda dengan di Jogja, di Jakarta becak bukan angkutan umum favorit. Mulai dari bentuknya yang sangat ceper, dilihat saja sudah merasa capek. Langsung kasihan dengan si abang becak.
4. Bemo: Angkutan andalan ketika masih menghuni kawasan Bendungan Hilir (banyak juga yang tidak tahu, lho, kalo Bendungan Hilir itu biasa disingkat dengan Ben-Hil! :p).
Dengan muatan maksimal 7 orang penumpang (1 orang di depan dan 6 orang di belakang), suasana begitu “menegangkan”. Duduk berhimpitan dengan mbak atau eneng manis bikin tegang, begitupun bila duduk berhimpitan plus bersenggolan lutut dengan mas-mas sangar pasar Benhil. Tetap tegang!
5. Delman: jenis angkutan umum yang juga belum pernah dinaiki selama di Jakarta.
6. Kereta api (KRL): Salah satu jenis angkutan yang sangat berjasa dalam proses pengerjaan skripsi. Dari Stasiun Pasar Minggu ke Stasiun UI selalu setia menemani. Pernah merasa sia-sia membeli tiket karena tidak pernah ada pemeriksaan tiket. =)
7. Metromini: Wah, untuk yang satu ini penuh suka dan duka lah. Mulai dari harus berlari mengejar laju bis kota maupun harus adu nyali dengan pencoleng yang siap beraksi.
Bukan bermaksud SARA, namun penyebutan asal daerah dan teman-temannya sangat berpengaruh pada keselamatan jiwa dan barang kita. Hehehehe….
Jalur Blok M – Tanah Abang, Ragunan – Blok M, maupun Pasar Senen – Benhil, sangat berwarna dengan kehadiran de Oranje ini.
8. Ojek (motor): Pernah memberikan pengalaman yang menakutkan bagi seorang teman yang baru pertama kali naik ojek ini di Jakarta. Cara mengendarai motor dengan metoda gas pol, rem kalau ingat, memberikan getaran yang tak terlupakan. Dia hanya bisa bilang, “Semprul!”
Bisa diandalkan untuk semua orang dari berbagai kalangan bila menginginkan jarak Senayan – Gambir ingin ditempuh selama 10 menit.
9. Ojek (sepeda): Selalu memberikan pemandangan yang mengharukan bila melihat mereka ngetem menunggu para pengguna jasa mereka. Dengan tenaga yang mereka miliki, mereka bekerja keras menggenjot sepeda. Semakin banyak genjotan, semakin banyak lah rupiah masuk kantong mereka.
Salut juga kepada sebagian di antara mereka yang setia menjadi pengojek sepeda sekadar ingin melestarikan moda angkutan tersebut.
Mudah dijumpai di sekitar Stasiun Kota. Akan muncul pemandangan unik ketika pengguna jasa mereka yang masih menggunakan baju kerja lengkap dengan dasinya, membonceng geyal-geyol mengikuti gerak sepeda menyusuri jalan di kawasan kota tua itu.
10. River taxi: Sebutan yang keren, walau tak sekeren penampilannya. Terakhir melihat angkutan ini di sekitar wilayah Manggarai, beberapa tahun yang lampau. Saat ini mungkin mudah ditemui di kawasan Jakarta bagian utara.
Salah satu jenis angkutan yang belum pernah dinaiki juga.
Selamat ulang tahun yang ke-479 Jakarta!
Misal, dulu kalau ke mana-mana di Jakarta naik angkutan bis kota Metromini atau Kopaja, setelah ke mana-mana sekarang naik sepeda motor atau mobil ataupun taxi, keinginan untuk naik Metromini menjadi malas. Atau minimal terlalu banyak alasan untuk tidak ingin naik Metromini lagi.
Situasi penumpang yang penuh sesak, kondisi pengap bis kota, bahkan ancaman gerayangan para copet yang selalu menghantui benar-benar bisa menjadi sisi pembenar untuk tidak naik Metromini (lagi).
Mungkin itu bisa disebut manusiawi untuk merasa nyaman dengan apa yang sudah dirasakan saat ini, dan enggan untuk merasa kurang nyaman (kembali).
Entah sebuah keberuntungan atau sesuatu yang harus dialami ketika dulu pernah merasakan berbagai macam angkutan umum yang beroperasi di Jakarta ini.
Setiap moda angkutan memberikan sensasi yang luar biasa. Ya, penumpangnya, ya, situasi dan kondisi kendaraannya. Kalau istilah orang yang sedang jatuh cinta, berjuta rasanya, lah!
Setelah gresek-gresek di sana-sini, berbagai angkutan bisa kudapatkan gambarnya. Masing-masing moda angkutan ada kisah yang mengiringinya. Ada yang pernah kunaiki, ada juga yang sebatas dilihat. Seperti terlihat pada gambar di bawah ini:
1. Angkot: Biasa digunakan ketika mengawali perjalanan menghabiskan hari-hari di Ciputat. Nomor lambung angkot DO-1 selalu memberikan sinonim yang mesra; Angkot Doi! Dulu pp jauh-dekat sekitar 1500. Setelah BBM naik, ongkos angkot pun ikut naik, menjadi sekitar 2000 pp.
2. Bajaj: Selalu memberikan solusi paling ideal untuk menembus keruwetan lalu lintas Jakarta tanpa takut kehujanan. Walaupun tidak memberikan jaminan tidak akan terkena cipratan air dari mobil yang melintas di samping bajaj.
Salah satu kenangan terindah adalah ketika bajaj masih diizinkan melintas di halaman Monas. Ketika itu malam tlah merayap melingkupi ibu kota, dari stasiun Gambir dengan bajaj menembus keangkuhan pijar puncak Monas menuju kawasan Thamrin, untuk berganti angkutan ke bus kota jurusan Blok M.
3. Becak: Belum pernah sama sekali selama di Jakarta naik becak. Beda dengan di Jogja, di Jakarta becak bukan angkutan umum favorit. Mulai dari bentuknya yang sangat ceper, dilihat saja sudah merasa capek. Langsung kasihan dengan si abang becak.
4. Bemo: Angkutan andalan ketika masih menghuni kawasan Bendungan Hilir (banyak juga yang tidak tahu, lho, kalo Bendungan Hilir itu biasa disingkat dengan Ben-Hil! :p).
Dengan muatan maksimal 7 orang penumpang (1 orang di depan dan 6 orang di belakang), suasana begitu “menegangkan”. Duduk berhimpitan dengan mbak atau eneng manis bikin tegang, begitupun bila duduk berhimpitan plus bersenggolan lutut dengan mas-mas sangar pasar Benhil. Tetap tegang!
5. Delman: jenis angkutan umum yang juga belum pernah dinaiki selama di Jakarta.
6. Kereta api (KRL): Salah satu jenis angkutan yang sangat berjasa dalam proses pengerjaan skripsi. Dari Stasiun Pasar Minggu ke Stasiun UI selalu setia menemani. Pernah merasa sia-sia membeli tiket karena tidak pernah ada pemeriksaan tiket. =)
7. Metromini: Wah, untuk yang satu ini penuh suka dan duka lah. Mulai dari harus berlari mengejar laju bis kota maupun harus adu nyali dengan pencoleng yang siap beraksi.
Bukan bermaksud SARA, namun penyebutan asal daerah dan teman-temannya sangat berpengaruh pada keselamatan jiwa dan barang kita. Hehehehe….
Jalur Blok M – Tanah Abang, Ragunan – Blok M, maupun Pasar Senen – Benhil, sangat berwarna dengan kehadiran de Oranje ini.
8. Ojek (motor): Pernah memberikan pengalaman yang menakutkan bagi seorang teman yang baru pertama kali naik ojek ini di Jakarta. Cara mengendarai motor dengan metoda gas pol, rem kalau ingat, memberikan getaran yang tak terlupakan. Dia hanya bisa bilang, “Semprul!”
Bisa diandalkan untuk semua orang dari berbagai kalangan bila menginginkan jarak Senayan – Gambir ingin ditempuh selama 10 menit.
9. Ojek (sepeda): Selalu memberikan pemandangan yang mengharukan bila melihat mereka ngetem menunggu para pengguna jasa mereka. Dengan tenaga yang mereka miliki, mereka bekerja keras menggenjot sepeda. Semakin banyak genjotan, semakin banyak lah rupiah masuk kantong mereka.
Salut juga kepada sebagian di antara mereka yang setia menjadi pengojek sepeda sekadar ingin melestarikan moda angkutan tersebut.
Mudah dijumpai di sekitar Stasiun Kota. Akan muncul pemandangan unik ketika pengguna jasa mereka yang masih menggunakan baju kerja lengkap dengan dasinya, membonceng geyal-geyol mengikuti gerak sepeda menyusuri jalan di kawasan kota tua itu.
10. River taxi: Sebutan yang keren, walau tak sekeren penampilannya. Terakhir melihat angkutan ini di sekitar wilayah Manggarai, beberapa tahun yang lampau. Saat ini mungkin mudah ditemui di kawasan Jakarta bagian utara.
Salah satu jenis angkutan yang belum pernah dinaiki juga.
Selamat ulang tahun yang ke-479 Jakarta!