Senin, Oktober 30, 2006

(Ber)lebaran di Jakarta

Satu hal yang tidak aku duga terjadi di tahun ini adalah aku harus berlebaran di Jakarta.

Satu ritual yang tiap tahun selalu kulalui di kota kelahiran. Ada sebab, ada alasan, ada cerita ketika harus berlebaran di Jakarta.

Sudah lama rencana mudik untuk berlebaran di Jogja disusun. Bareng ama temen naik mobil rencananya. Namun, rencana tinggal rencana. Mobil pada detik-detik terakhir Ramadhan ternyata tidak bisa digunakan untuk mudik. Waduh!

Terpaksa rencana B dilaksanakan. Kita mulai mencari tiket moda angkutan lain Jogja-Jakarta pp. Namun karena pas momen mudik lebaran, maka mencari tiket akhir minggu Ramadhan menjadi sesuatu hal yang mustahil. Kecuali kita mau dengan harga yang nggilani!

Yo wes. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya diputuskan menikmati suasana lebaran di ibukota. Sesuatu yang sama sekali baru kualami. Dengan konsekuensi harus menunda pertemuan dengan keluarga dan teman-teman seperti yang sudah direncanakan jauh sebelum lebaran.

Lebaran tahun ini aku pilih yang hari Senin. Ya yakin aja. Di samping juga karena sebagai pengikut salah satu organisasi massa hehehe...

Karena pilihan yang minoritas itu, ketika berangkat ke tempat sholat di Al Azhar, jalan begitu sepi. Bahkan mungkin bisa dibilang senyap. Mulai ramai dan hiruk pikuk ketika sudah berada di sekitar lokasi.

Setelah sholat, ritual seperti biasanya. Setelah bertelepon ria dengan bapak ibu dan
saudara di Jogja, kemudian dilanjutkan dengan makan ketupat plus opor dan sambal ati.

Silaturahmi ke tempat saudara yang ada di Jakarta dan sekitarnya menjadi menu berikutnya. Ritual yang mungkin tidak bisa dilaksanakan jika berlebaran di kampung halaman.

Begitu juga ritual ketika hari berikutnya, ketika lebaran yang dilaksanakan sesuai dengan keputusan pemerintah. Tujuan kunjungan berganti ke saudara yang berlebaran pada hari Selasa. Suasana tetap akrab, perbedaan tidak menimbulkan kedengkian dan cemoohan. Semua dianggap sebagai berkah.

Jalanan Jakarta nan lengang

Yang pasti, (ber)lebaran di Jakarta menimbulkan suasana yang khas. Jalan-jalan jauh lebih lengang daripada hari biasanya. Banyak warung makan yang tutup. Namun mal dan juga pasar grosir masih saja tumpek blek. Demikian juga tempat-tempat wisata di Jakarta. Kebun binatang Ragunan, Ancol, maupun taman Monas semua diserbu penduduk Jakarta yang ingin menikmati libur lebaran.

Bicara soal warung makan yang tutup, tidak demikian halnya dengan warung sate dan soto yang kebanyakan dikelola oleh saudara kita dari Madura. Mereka tidak mengenal tradisi mudik pada lebaran idul fitri. Tapi justru mengenal mudik ketika lebaran haji (idul kurban). Inilah uniknya Indonesia. Ketika yang lain pergi, ada yang tetap tinggal. Minimal mengurangi jumlah penduduk yang mudik di lebaran ini. Bisa dibayangkan toh kalau orang Madura se Indonesia ikut-ikutan mudik lebaran idul fitri kemarin. Wuah, full house deh jalan-jalan! hehehehe...

Paling tidak, menu sate ayam dan kambing masih bisa hadir di meja makan rumah lah selama libur lebaran. :)

Satu lagi berkah lebaran tahun ini, Jakarta akhirnya diguyur hujan juga. Lumayan segarlah cuaca, walau cuma hujan selama satu jam saja.

Singkat kata singkat cerita, minal aidzin wal faidzin, semoga semua kembali dengan semangat baru untuk sesuatu yang lebih seru! Salam!

Kamis, Oktober 12, 2006

Memberi

Apa yang membuat kita melakukan kegiatan yang namanya memberi? Ada banyak alasan. Salah satunya karena ada pihak yang pantas untuk menerima. Pantas di sini tentu saja yang membutuhkan.

Apa pula yang kita rasakan ketika mampu memberikan sesuatu kepada orang yang benar-benar membutuhkan dan pantas menerimanya itu? Lega. Yah, salah satunya rasa lega.


Memberi itu dapat dalam bentuk dan istilah yang bermacam-macam. Salah satu yang biasa kita jumpai dan mungkin akrab dengan kita adalah sedekah. Besarnya sedekah tidak ditetapkan. Yang penting kita ikhlas memberikannya.

Dulu orang tua atau para guru sering mengingatkan hikmah dari kegiatan sedekah itu. Di samping akan membantu meringankan beban orang yang kita beri, kita nanti bakal mendapatkan balasan yang lebih banyak dari yang kita keluarkan.

Namun hal itu yang selalu menjadi misteri tersendiri. Balasan itu kita selalu tidak ketahui secara pasti kapan akan kita terima. Dan dalam bentuk seperti apa.

Mungkin saat ini, khususnya di bulan Ramadhan ini, kita pernah atau sering melihat sosok yang bernama Yusuf Mansyur. Seorang ustad muda yang selalu menyeru untuk selalu bersedekah, berapapun harta yang kita ingin sedekahkan.

Semalam, ketika melihat acara di TV, sekali lagi sosok itu terlihat. Semula channel TV ingin kupindah ke acara yang lain. Namun melihat materi dan juga kisah yang dibahas membuat channel tak beralih.

Di situ dikisahkan kembali bagaimana dengan sedekah kita bisa dibebaskan dari masalah finansial yang sedang kita alami. Bantuan bisa datang lewat orang lain, atau melalui orang yang tidak kita duga, namun justru lebih besar nilainya dari yang kita sedekahkan dan kita harapkan.

Memang, sedekah yang kita berikan mungkin bukan berbentuk materi saja. Bisa jadi dalam bentuk bantuan non materi.

Berkaitan dengan sedekah kembali, ada sesuatu yang kadang sering menimbulkan keprihatinan.
Yaitu menjamurnya para peminta sedekah yang kadang membuat kita mengurut dada.
Banyak diantara mereka yang sebenarnya tidak layak meminta-minta sedekah dilihat dari segi fisik dan kemampuannya. Namun mereka selalu memakai jalan pintas mendapatkan cash money.
Atau peminta sumbangan sebuah badan amaliah atau rumah ibadah yang ternyata banyak juga yang fiktif.

Hal-hal seperti itu yang kadang mengurangi kekhusyukan kita beribadah sekaligus keikhlasan kita. Kita selalu berpikir ulang ketika akan meberi sedekah. Benarkah mereka membutuhkan? Apakah sedekah itu tidak akan diselewengkan? Membuat kita ragu.

Mungkin salah satu solusi bersedekah adalah kita memberikan langsung kepada pihak yang benar-benar kita kenal atau ke tempatnya langsung.

Di sekitar kita juga ada sebuah kegiatan yang berhubungan dengan sedekah. Namun lebih ke ritual budaya. Salah satunya adalah Sedekah Bumi yang diadakan di Kelurahan Bandung, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal.

Selain untuk meminta berkah, sedekah bumi juga diselenggarakan untuk menolak bala atau petaka.

"Tradisi sedekah bumi perlu diuri-uri untuk diambil hikmahnya," ujar Al Ustadz Ahmad Rofi'i, tokoh agama yang menyampaikan hikmah sedekah bumi.

Kegiatan itu berfungsi juga sebagai media bagi warga Kelurahan Bandung untuk bersilaturahmi.

Selain itu, sedekah bumi dapat melatih warga untuk gemar bersedekah. Sebab, biaya yang digunakan berasal dari warga dan kembali ke warga.

Kalau dipikir-pikir, orang zaman dahulu itu kreatif-kreatif, yah? Untuk mengajak warga melakukan sedekah, dilakukan melalui ritual budaya. Sehingga masyarakat dapat lebih mudah menerima dan mengikuti kegiatan itu.

Dan di bulan Ramadhan kali ini kitapun kembali diingatkan tentang hal itu, salah satunya kewajiban zakat bagi yang mampu pada saat akhir Ramadhan nanti. Bagaimanapun juga, zakat adalah bagaian rezeki kita yang menjadi hak daripada kaum dhuafa. Kita diberi kesempatan yang baik untuk berbagi. Secara pribadi paling tidak sebagai latihan untuk di bulan-bulan yang lain.***