Minggu, Juli 31, 2005

Sabtu, Juli 30, 2005

Lidah memang tak bertulang...

Ada kabar dari seberang.

Gambar ini adalah gambaran kecil yang berhasil kami tangkap kemarin di Hotel Radisson SAS Airport Hoofdorp Belanda. Rombongan lelaki paruh baya dengan wajah melayu, tampak segar memasuki lobby hotel, walau cuaca saat itu kurang bersahabat. Di tangan mereka, jelas terlihat tas belanja berlabel merk terkenal bak Gucci dan Bally, yang sudah menjadi pengetahuan umum, sebagai merk barang yang tidak murah. Sekilas, bapak-bapak ini terlihat seperti rombongan turis, yang sedang menikmati zomer vakantie. Siapa sangka, mereka adalah anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Nursyahbani Kartasungkana (PKB), Pataniari Siahaan (PDIP), Andi Matalata (Golkar), Yahya Zaini (Golkar), Agus Tjondro Prayitno (PDIP), Maiyasyah Johan (PDIP), Ishaq Saleh (PAN), Yusuf Fani Andim Kasim (PBR). Berdasarkan beberapa sumber, kunjungan mereka ke Perancis dan Belanda sejak tanggal 25 sampai 28 Juli 2005 adalah rangkaian tour studi banding tentang proses legislasi penyusunan rancangan undang-undang negara.

Seperti yang ditulis Kompas 13 Juli 2005, dana yang bisa dihabiskan Dewan Perwakilan Rakyat untuk perjalanan ke luar negeri jumlahnya sangat besar dalam setahun. Informasi yang diperoleh pers, dana yang tersedia di Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR saja untuk sisa anggaran tahun 2005 mencapai Rp 2,5 miliar. Hhmm, pantas saja bapak-bapak ini tampak sumringah, walau sedang menjalankan ‘tugas Negara’. Sekedar gambaran, fasilitas yang diterima anggota DPR apabila ke luar negeri memang banyak. Menurut keputusan Menteri Keuangan, 3 April 1992, fasilitas anggota DPR masuk dalam kategori golongan B: Uang harian perjalanan dinas ke luar negeri untuk ke Amerika Serikat adalah sebesar 315 dollar AS (Rp 2.929.500, asumsi 1 dollar AS = Rp 9.300); Perancis 320 dollar AS (Rp 2.976.000); Korea Selatan 250 dollar AS (Rp 2.325.000); Thailand dan Australia 220 dollar AS (Rp 2.046.000). Di luar itu, DPR juga mendapatkan fasilitas pesawat kelas bisnis. Namun, umumnya anggota Dewan banyak yang menggunakan kelas ekonomi sehingga kelebihan anggaran yang disediakan bisa dibawa pulang. "Selisih kalau pindah kelas dari bisnis ke kelas ekonomi biasanya lebih dari separuh," ucap seorang anggota Dewan, seperti yang dikutip Kompas.

Bicara soal studi banding anggota DPR ke luar negeri bagai memutar kaset baru dengan lagu lama. Apalagi ditambah keadaan dalam negeri yang saat ini memprihatinkan dengan segala permasalahan BBM sampai keluarnya Inpres no. 10 tahun 2005 yang menyerukan penghematan, ditambah kontroversi kenaikan gaji anggota DPR. Surat kabar Sinar Harapan (22 Juli 2005) memberitakan bahwa dari data Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR saat ini, ketua DPR mendapatkan gaji Rp 35,17 juta per bulan. Para wakilnya mendapat Rp 29,89 juta. Sementara anggota dewan Rp 28, 37 juta. Gaji ini dinilai terlalu kecil dan diusulkan untuk ketua menjadi Rp 65,17 juta atau naik 82,5 %. Wakilnya menjadi Rp 51,39 juta, naik 71,8 %. Dan anggota dewan menjadi Rp 38,01 juta, naik 33,9 %. Ini berarti gaji bulanan ketua DPR secara keseluruhan naik 104 %, wakilnya naik 89,5 % dan anggotanya naik 82,8 %.

Mahasiswa dan pelajar Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda menyatakan sikap prihatin; bukan saja atas terselenggaranya studi banding yang sangat tidak tepat dilakukan saat ini sebagai cerminan wakil rakyat yang kehilangan sensitifitasnya atas keadaan krisis bangsa, namun atas segala kebijakan yang bertolak belakang dari usaha memperbaiki keadaan carut-marut Negara.

Ada satu catatan kecil yang rasanya perlu juga kami ungkapkan disini, yaitu kekecewaan terhadap tidak adanya kesempatan berdialog dengan bapak-bapak Baleg DPR. Saat kami membaca susunan acara mereka, ada satu sesi khusus dialog dengan komunitas masyarakat Indonesia di Belanda. Ternyata kami tidak diijinkan mengikuti sesi tersebut dengan alasan sesi itu hanyalah sesi makan malam intern dengan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), alias sesi siluman.

Satu situasi yang mengecewakan untuk kami, ketika lagi-lagi sikap elit mencerminkan keengganan untuk terbuka pada kami yang notabene rakyat Indonesia, pimpinan tertinggi dari Negara Indonesia yang harus diperjuangkan aspirasinya. Ketika pintu komunikasi tertutup, seolah berdialog dengan kami menjadi tidak esensial dan tidak penting lagi dibanding urgensi studi banding itu sendiri yang menurut kami malah lebih tidak efektif mengingat kemajuan teknologi. Berbagai sarana elektronik padahal bisa dimanfaatkan untuk bertukar informasi bahkan pertemuan online antar benua dengan biaya yang jauh lebih murah dan cakupan peserta yang lebih fleksibel. Perwakilan Indonesia di berbagai negara bisa pula diberdayakan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan. Apakah ini suatu simbol bahwa virus imunitas untuk berdialog dan mendengarkan aspirasi kami sudah mulai menggejala, atau malah sudah akut?

Maka jangan salahkan rekan-rekan PPI Prancis yang memilih walk out saat acara makan malam di KBRI di Paris dengan rombongan DPR, jangan tuding mereka bersikap kekanak-kanakan dengan dalih kabur begitu saja tanpa mau mendengarkan penjelasan anggota DPR, karena mungkin sesungguhnya memang tertutup sudah pintu dialog antara kami, Perhimpunan Pelajar Indonesia di luar negeri ini sebagai salah satu elemen masyarakat Indonesia, dengan orang-orang yang konon mewakili aspirasi kami. Jangan salahkan berita yang terlihat menyudutkan, karena mungkin memang tidak ada niat dari anggota DPR atau siapapun itu untuk meluruskannya.

Dan siang ini, ketika tulisan ini kami rampungkan sebagai sikap kami, mungkin para anggota DPR tersebut sedang duduk dengan nyaman di kursi pesawat kelas bisnis, tersenyum sambil menikmati segelas kopi manis, ditemani sejumlah tas belanja oleh-oleh untuk kerabat dan keluarga, dengan sumbatan earphone di telinga untuk mendengar lagu-lagu indah di pesawat, yang tak seindah suara kami disini.

Selamat Jalan Bapak-bapak…

Leiden, 28 Juli 2005
Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda

***
Untuk foto-fotonya, silakan klik saja di sini. Di bagian News, "Studi Banding Oh Studi Banding..."

Salam!

Rabu, Juli 20, 2005

Mari Belajar Membaca!

Yahhh...setelah sebelumnya aku menulis yang agak-agak berat, sekarang aku mau menuangkan kembali apa yang Mas Samuel Mulia sudah kemukakan di surat kabar ibu kota. Topiknya seh ringan-ringan saja, tapi bisa menjadi berat juga bila kita salah menempatkannya. Yap, ini soal mengucapkan sesuatu saja. Oke, selamat membaca!

”Aduh... capek banget habis dari karefor nih,” kata suara wanita cantik yang masuk ke gendang telinga saya, di suatu siang di sebuah kedai kopi hotel berbintang.

Cantik untuk wanita Jakarta yang dimaksud adalah kulit putih—harus putih—muka berminyak sedikit, rambut panjang lurus dan sedikit diwarnai di beberapa bagian, lengan yang padat berisi tetapi tetap kelihatan langsing dan mulus, perut yang baru mau menipis atas usaha suntik-menyuntik alias tusuk jarum, rias wajah yang lembut dan berpakaian dalam sapuan warna pastel yang anggun, dengan jas pendek plus bros kembang kain, yang menjadi aksesori nyaris semua perempuan Jakarta. Seluruh penampilannya itu masih ditimpali lagi dengan tas Birkin Hermes, yang menjadi tas wajib wanita metropolitan Jakarta.

Awalnya saya tak mengerti apa yang dimaksudkannya dengan kata karefor tadi. Kemudian selang beberapa lama setelah percakapan pembuka yang singkat itu berlangsung, saya tahu bahwa yang dimaksudnya adalah hipermarket bernama Carrefour yang buatan Perancis itu. Carrefour yang dimaksudnya seharusnya dilafalkan seperti kar -fur, karena label itu adalah label dalam bahasa Perancis, dan bukan sebuah kata dari bahasa Inggris.

Dua hari setelah itu, teman pria saya dengan bangga menunjukkan jam tangan terbarunya, di sebuah pesta perkawinan seorang sahabat. Percakapan di antara beberapa pria soal mengoleksi jam tangan supermahal. ”Aku sih seneng banget sama jam Kartir-ku ini,” katanya. ”Kartir?” pikir saya.

Sama seperti kejadian dengan wanita cantik tadi, di awal percakapan sebelum ia menunjukkan jam yang dikenakannya saya tak mengerti apa yang dimaksudnya dengan kata Kartir. Pada akhirnya saya tahu yang dimaksudnya adalah jam tangannya yang bermerek Cartier. Cartier adalah merek yang berasal dari bahasa Perancis, dan seharusnya dibaca seperti kar-ti-e (seperti melafal huruf e). Sejak kejadian itu, saya menjulukinya dengan sebutan Mas Kartir.

Tak hanya Cartier atau Carrefour, label mode Perancis seperti Christian Dior juga sering kali didengungkan sebagai Christine Dior. Saya kok pikir yang paling cocok pakai nama Christine ya cuma aktris kawakan kita Christine Hakim bukan? Bahkan suatu siang teman saya malah dengan bangga nyerocos lewat telepon genggamnya bahwa dia senang sekali dengan koleksi ”Dyer” yang terbaru yang dilihatnya di Singapura. Maksud teman saya itu adalah Dior.

Kejadian-kejadian melafalkan dengan cara kurang tepat juga dialami seorang teman ibu saya yang sudah cukup berumur yang mengajak saya untuk menemaninya berbelanja di butik yang menurutnya bernama Versase. Saya pikir itu butik penjual vas-vas bunga terbuat dari kristal. Ternyata, maksudnya Versace butik pakaian buatan Italia itu.

Dan yang tentu belakangan sangat digandrungi semua perempuan adalah memiliki tas Birkin atau Kelly buatan Hermes.

Hermes merupakan nama keluarga Perancis pemilik butik kondang itu, dan label itu sering kali dilafalkan keliru. Hermes seharusnya dibaca tanpa mendengarkan vokal dari huruf H. Jadi, er (seperti melafal huruf r) dan mes (seperti melafal nama penyanyi Memes istrinya Pak Adhie MS).

Lafal dan pengetahuan

Apa pentingnya melafalkan dengan benar? Mampu melafalkan dengan benar menunjukkan pengetahuan Anda yang luas, bahkan lebih dari hanya sekadar membeli, memiliki barang mewah dan mahal, atau sekadar terlihat up to date, terlihat tak kalah mentereng. Melafal dengan baik dan benar mencerminkan seberapa tingginya Anda menempatkan diri untuk gaya hidup yang Anda pilih.

Kita sering kali keliru bahwa tinggi rendahnya gaya hidup ditentukan dengan banyak sedikitnya barang-barang mentereng yang kita pakai. Gaya hidup yang disebut ”sempurna” adalah gaya hidup yang mampu menghadirkan paduan gemerlapnya barang mentereng di badan Anda dengan cemerlangnya isi kepala Anda.

Jangan sampai pada suatu hari Anda sudah kelihatan cantik, gaya, menggunakan barang-barang terbaru dari rumah-rumah mode terkenal, ceplas-ceplos berbahasa campur Inggris Indonesia seperti kebanyakan kaum jet set Jakarta, dan kemudian Anda membuat kekagetan seperti satu teman wanita saya, yang hanya cuma bisa gaya dengan ikut-ikutan memesan escargot dengan pengetahuannya yang minim, seminim rok yang dipakainya malam itu.

”Saya juga mau pesen escargot-nya Mas,” katanya memberi instruksi kepada si pramusaji. ”Mas... esnya jangan banyak-banyak....”

Supaya Tidak Salah Melafalkan

Chanel: merek kondang dari negeri anggur ini dibaca seperti sya dan nel. Bukan sye dan nel seperti para manusia Amerika menyebutnya, atau manusia yang senangya keamerika-amerikaan. Chanel adalah nama Perancis dan bukan sebuah kata Inggris. Karena itu ya jangan diinggris-inggriskan. Anda tak mau bukan nama Anda yang sangat Indonesia diinggriskan?

Cartier: merek jam buatan Perancis. Dilafalkan kar-ti-e bukan dibaca kartir.

Image hosted by Photobucket.com

Haute Couture: dibaca seperti membaca ot-ku-tur bukan hot ku-cur.

Dior: Sebut saja seperti menyebut di dan or.

Givenchy: adalah juga label Perancis. Dilafalkan seperti ghi-fang-syi.

Lanvin: Nama ini juga berasal dari nama keluarga Perancis. Dilafalkan sebagai lang-fang dan bukan lan-fin.

Versace: Label Italia yang dimiliki keluarga Versace. Dilafalkan sebagai ver-sa-ce (dibaca seperti membaca che-guevara). Ingat ini nama Italia. Orang Amerika sering kali menyebutnya sebagai Ver-sa-ci. Anda tak perlu ikut-ikutan menyebutnya demikian. Anda bukan orang Amerika, bukan?

Hermes: Huruf H tidak perlu diperdengarkan. Sehingga label ini dibaca seperti er (seperti menyebut huruf r) dan mes (seperti penyanyi Memes). Umumnya dalam bahasa Perancis huruf s di akhir kata tidak dibaca, tetapi untuk menyebutkan label ini maka suara huruf s diperdengarkan.

Yves Saint Laurent: dibaca seperti if-sang-lorang. Label ini sering disingkat sebagai YSL. Meski demikian, di Negeri Anggur, orang jarang menyebut tiga huruf ini kalau menyebut nama desainer legendaris itu.

Image hosted by Photobucket.com

Ungaro: Meskipun dalam menulis huruf g hanya satu, tetapi label ini dilafalkan seperti seolah menggunakan dua huruf g. Ung-ga-ro.

Bagaimana dengan kamu? Punya pengalaman menarik tentang hal tersebut?

Jumat, Juli 15, 2005

Heran...

Image hosted by Photobucket.com

Sesuai dengan keputusan menteri Kominfo, Bpk. Prof. Sofjan Djalil, mulai tanggal 15 Juli 2005 dinihari, semua siaran televisi di Indonesia dihentikan penayangannya dari pukul 01.00-05.00 wib. Hal itu berkaitan dengan anjuran bapak presiden dalam hal ini mewakili pemerintah untuk menyukseskan “Gerakan Hemat Energi”.

Hemat energi? Ya, karena pemerintah mulai kewalahan plus kelabakan dalam menyediakan tenaga energi bagi masyarakatnya. Dalam hal ini untuk penyediaan bahan bakar minyak dan stok listrik dari PLN.

Tapi, sekali lagi, logika yang berjalan dalam kasus ini kembali dipertanyakan. Untuk hemat listrik, caranya dengan membatasi jam siaran televisi. Yang bener aja, om!

Ok, berusaha tetap dengan logika, seperti kata mas Katon Bagaskara. Kalo jam siaran dibatasi, diharapkan para pecinta siaran televisi akan menghentikan rutinitasnya itu, kemudian diikuti dengan mematikan lampu ruangan, dan memilih bobok saja. Selesai? Belum.

Itu bisa berlaku bila dilakukan oleh orang yang benar-benar hanya melihat siaran televisi dari jam 01.00 sampai 05.00 sebagai hal yang biasa dan rutinitas yang biasa juga. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang melihat siaran televisi pada rentang waktu itu sebagai hal yang tidak biasa-biasa saja? Tentu akan memiliki implikasi yang signifikan, dong!

Yap! Bagaimana dengan bapak-bapak penjaga keamanan sekaligus portal di perumahan-perumahan yang menjadikan siaran televisi sebagai teman pengusir rasa kantuk (asal jangan pengusir kewaspadaan lho, pak…)? Mas-mas yang nongkrong di gardu untuk tugas siskamling? Penggemar wayang kulit yang memang biasa ditayangkan pada dinihari? Orang-orang yang ternyata harus terbangun saat dinihari dan membutuhkan sedikit hiburan dengan menonton tv? Apakah orang-orang seperti mereka juga dipikirkan oleh pengambil kebijakan itu? Akh, jumlah mereka yang seperti itu khan sedikit. Itu kilah bapak-bapak pejabat yang ingin menerapkan peraturan itu.

Bahkan ada seorang pejabat negara yang biasanya bijak dalam berkata, ternyata harus berkomentar sedang saja bahwa: begadang itu bukan hal yang baik. Heran. Tapi kalo begadang versi lagunya om Rhoma memang tidak baik. :D

Oke lah. Kita memang masih sedikit harus bijak juga, bahwa kita yang selama ini menonton televisi dengan gratis, mungkin juga harus menerima juga keputusan ini. Tapi apa salahnya sih kita diberikan kesempatan dulu untuk menerima tawaran pembatasan itu?

Dan pahitnya lagi, kita-kita yang kebetulan berlangganan tv kabel (kabelvision) pun harus terkena imbasnya juga. Sudah membayar untuk sebuah pelayanan siaran televisi 24 jam, ternyata terkena juga peraturan ini. Padahal ini jelas-jelas layanan yang disediakan oleh pihak swasta. Dan kita sudah menunaikan kewajiban kita. Tidak ada kompensasi apa pun! Heran. Kesal. Komplit!*/

Secara kebetulan, kamis malam, malam sebelum malam jahanam…hehehe….aku melintas di kawasan istana negara. Agak aneh memang. Lingkungan istana terlihat lebih gelap dan remang-remang. Jadi ketika melihat mas-mas tentara yang menjaga istana, rasanya begidik aja. Situasi mencekam yang terlihat. Oh…ternyata lumayan konsisten juga mas presiden, ada penghematan, jadi listrik-listrik taman yang nggak perlu banged, dimatiin…oke lah…lumayan.

Tapi, apa yang terjadi di seberangnya? Tepatnya di taman Monas. Beberapa lampu spot yang sekian watt itu masih asoy saja menari-nari. Tidak ada acara apa pun di taman itu. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 wib. Kalau sudah tidak kompak sendiri seperti ini, kita sebagai wong cilik khan jadi semakin nggak asoy lagi khan sama segala kebijakan pemerintah yang sekarang ini. Sudah menjadi kesadaran pribadi bahwa kalau mau hemat energi itu ya harus atas kesadaran dari dalam hati masing-masing individu. Tidak bisa dikekang sana-sini. Sudah diatur-atur, tidak mendapat contoh yang baik lagi. Heran.

Hmmmm….padahal mas-mbak, ya…kalau dilihat-lihat jajaran para menteri itu orang yang terbiasa berpikiran logis kan, ya? Bahkan ada yang sudah menyandang titel profesor juga kan, yah? Jadi, kita itu dianggap kaya anak kecil gitu lho...ketika si anak nggak boleh maem permen, ya udah, permennya disembunyiin...tanpa ada penjelasan yang logis sama sekali…..Kasian deh pak menterinya…hehehe…

*/ Akan ada tulisan tersendiri soal ini.

Kamis, Juli 07, 2005

Tentang DPR di Sebuah Tembok

Di daerah Blok M, di sebuah tembok yang biasa dikencingi sopir taksi, saya membaca sebuah tulisan kecil: “DPR kura-kura!” (Itu sudah saya halus-haluskan sendiri, tulisan sesungguhnya adalah “DPR an…!”) Tulisan itu kecil saja; tapi saya bisa membacanya karena malam itu saya tidak kuat menahan kencing dan akhirnya saya memutuskan kencing di tempat sopir-sopir biasa kencing itu.

Tulisan itu kayaknya sudah dibikin sebelum Badan Legislatif DPR merencanakan liburan lima hari ke Perancis dan Amerika Serikat dengan biaya hampir satu miliar rupiah untuk 30 orang. Katanya studi banding. Tapi alasan itu agak sulit dipercaya. Menurut penelitian terbaru yang saya baca, otak para anggota DPR kita merupakan salah satu benda di dunia ini yang kemurniannya selalu terjaga, dan karena itu tidak mungkin disusupi oleh ide-ide atau pengetahuan apa pun. Jadi saya yakin, setelah studi banding pun, keadaan otak mereka tetap akan seperti sediakala.

Kembali ke tembok yang sering dikencingi, tulisan “DPR kura-kura!” itu pun tampaknya sudah ditulis sebelum DPR mengajukan proposal kenaikan tunjangan yang jenisnya lucu-lucu. Ada tunjangan untuk penyerapan aspirasi masyarakat, besarnya Rp4,5 juta sehari. Ada tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan operasional khusus, dan sebagainya. Nah, tunjangan operasional khusus ini jumlahnya paling besar. Mungkin setiap anggota DPR sedang merencanakan aksi-aksi khusus yang memang membutuhkan biaya besar. Misalnya, operasi plastik bagi yang tidak tampan; atau mengecilkan bentuk hidung yang kebesaran; atau untuk membiayai kursus kepribadian.

Akibatnya, jika semula orang-orang di Senayan itu memperoleh 20-30 juta tiap bulan, maka dengan kenaikan berbagai tunjangan yang mereka minta itu, kelak mereka akan menerima 35-80 juta tiap bulan.

Saudara-saudara anggota DPR, anda semua tak perlu curiga bahwa tulisan di tembok dekat Blok M itu dibuat oleh orang yang sirik terhadap rencana piknik dan usulan kenaikan tunjangan yang konon disetujui oleh semua anggota DPR. Si penulis “DPR kura-kura!” (sebetulnya “DPR an….”) itu, saya yakin, sudah menulis jauh sebelumnya. Kalau tidak percaya, silakan anda datangkan ahli purbakala untuk mengetahui umur tulisan itu. Lagipula, di tembok-tembok mana pun (tak hanya di dekat Blok M), setiap orang memang boleh menulis apa saja, asal tidak ketahuan. Kalau sampai ketahuan, misalkan anda menulis “DPR kambing”, maka anda pasti ditangkap dan diadili dengan tuduhan membocorkan rahasia negara.

Selain tulisan di atas, sebetulnya masih ada satu tulisan lagi di dekatnya. Tulisan itu berbunyi: “Kami membutuhkan wakil rakyat, tapi partai-partai hanya menyediakan gerombolan pengemis untuk menguasai Senayan.”

Saya sedih ketika membaca koran pagi tadi. Saya sedih karena hari-hari ini banyak yang menyerang DPR. Tapi, saya yakin sekali, anggota DPR kita adalah para patriot sejati yang pantang mundur. Mereka pasti akan tetap minta kenaikan tunjangan sekalipun di seluruh tembok, yang biasa dikencingi oleh sopir maupun anjing, orang-orang menuliskan caci maki untuk mereka.***

(Di kutip dari sebuah "cubitan mesra" seseorang di sini)

Rabu, Juli 06, 2005

Hati-Jiwa-Mental

Pernah suatu ketika ada seorang teman yang cantik jelita, sebut saja dengan S, bertanya kepada diriku, "Uf, kamu sakit yah, kok berubah sekarang? Jadi gimanaaa...gitu."

Aku hanya melongo tuk sekian detik, dan akhirnya tersenyum simpul mendapat pertanyaan itu. Cantik sih, jadi harus tetap senyum. He"...

Sakit? Perasaan waktu itu sih baik" aja tubuh ini. Indikatornya paling tidak setiap minggu sore cukup waktu main basket di Senayan. Dan sedang tidak sakit. Kemungkinan terbesar sih penampakan psikis. Itu yang paling mungkin. Karena memang waktu itu sedang ada perasaan dongkol setengah mati. Dan itu berusaha kututupi. Dan gagal. He"...

Hmmm...hal" seperti itu memang bisa membuat seseorang terlihat "sakit", atau bahkan sakit beneran. Untuk itu perlu lah kiranya kita menjalani kualitas kehidupan yang lebih baik. Menjaga hati kita tetap stabil, menjaga kesehatan jiwa, mental, menjauhi perasaan iri hati, dengki, benci, serta mendendam, merupakan tindakan preventif yang cukup baik.

Karena manusia dengan yang sehat mental akan dapat menghadapi perubahan hidup dengan positif, selalu mencari solusi dari sisi intelektual, melakukan interaksi dengan sesama manusia, memiliki pemikiran kreatif untuk pekerjaan serta melakukan kegiatan sukarela, misalnya kegiatan religius.

Jadi, mempertahankan pikiran yang sehat juga memerlukan perilaku yang positif. Bagaimana dengan Anda?

Senin, Juli 04, 2005

Hampa

Masih ku merasa angkuh, terbang kenanganku jauh, langit kan menangkapku, walau kan terjatuh…

Perasaanku masih seperti yang dulu. Kau tetap menjadi seseorang yang selalu bisa dan menerima apa saja yang kuungkapkan sebagai sebuah ungkapan dan luapan. Kau tetap mampu hadir menjadi seseorang yang memercikkan sebuah kerinduan. Tapi tetap, hatiku masih seperti yang dulu.

Dan bila semua tercipta, hanya untukku merasakan, semua yang tercipta, hampa hidup terasa…

Mataku tetap saja terpejam. Tak mampu kubuka. Sambil ku tertunduk, air mata kepedihan mengalir pelan membelai pipiku. Pilu. Sesak. Bayangan kelam itu masih saja menerabas cepat menembus dinding hati yang sedang rapuh.

Lelah tatapku mencari, arti untukku membagi, menemani langkahku, namun tak berarti…

Mencoba berdiri. Kubersandar pada dinding yang dulu jadi saksi. Yang kuyakin melihatku mengingkari suara hati yang tak terperi. Seakan tertawakan diri. Kuterduduk lagi, tertunduk lagi.

Dan bila semua tercipta, tanpa harus ku merasakan, cinta yang tersisa, hampa hidup terasa…

Kubiarkan saja kepergianmu. Itu memang terbaik untukmu. Kulambaikan satu tanganku, dan satu genggam tuk anganku.

Bagai bintang di surga, dan seluruh warna, dan kasih yang setia, dan cahaya nyata…



Thanks to Ariel for “Bintang di Surga”-nya