Jumat, Maret 24, 2006

Hujan turun lagi...

Ketika melihat kejujuran seseorang, apa yang pertama kali kita rasakan? Tentu rasa senang dan respek, bukan?

Itu juga yang aku rasakan jika mendengar lagu-lagu dengan menyajikan lirik yang jujur dari lubuk hati paling dalam. Semuanya begitu berkesan.

Berawal dari penampilan grup musik humor Teamlo yang sedang manggung di stasiun tv TPI membawakan lagu tahun 80-an milik Mas Pance Pondaag, ingatanku kembali ke masa lampau.

Sebenarnya sedikit yang bisa ku ingat kembali lagu-lagu dan juga peristiwa pada medio 80-an itu. Tapi setelah googling, akhirnya aku menemukan sesuatu yang membawa kembali ke era “Tari Kejang” itu.

Contohnya dapat disimak pada lirik lagu dari Mbak Ratih Purwasih feat. Mas Obbie Messakh di bawah ini:

Antara Benci dan Rindu

Yang, hujan turun lagi
Di bawah payung hitam kuberlindung
Yang, ingatkah kau padaku
Di jalan ini dulu kita berdua

Basah tubuh ini, Basah rambut ini
Kau hapus dengan saputanganmu

Yang, rindukah kau padaku
Tak inginkah kau duduk di sampingku
Kita bercerita tentang laut biru
Disana harapan dan impian

Reff:
Benci, benci, benci tapi rindu jua
Memandang wajah dan senyummu sayang
Rindu, rindu, rindu tapi benci jua
Bila ingat kau sakiti hatiku

Antara benci dan rindu disini
Membuat mataku menangis

Yang, pernahkah kau bermimpi
Kita bersatu bagai dulu lagi

Tak pernah bersedih, tak pernah menangis
Seperti saat rindu begini

Deklamasi by Obbie Messakh:
Yang, hujan turun lagi
Ketika kulewati jalan ini
Aku ingat engkau, Yang

Basah tubuhmu, basah rambutmu
Kuhapus dengan saputanganku

Yang, aku pun rindu padamu
Aku pun ingin duduk di sampingmu
Kita bercerita tentang laut biru
Tentang langit biru
Disana impian dan harapan


Dahsyat, yah? ^^

Untuk situasi saat ini, lirik lagu seperti itu dan juga cara menyanyikan lagu dengan menyisipkan sebuah deklamasi (walaupun saat ini Peterpan melakukannya juga untuk lagu "Menunggu Pagi" di album soundtrack Alexandria) terasa lucu dan menggelikan.

Dengan perkembangan musik saat ini yang ditunjang dengan kecanggihan teknologi, kerinduan menyimak lagu era 80-an yang berkesan lugu dan mempunyai lirik yang lumayan panjang itu kembali muncul. Apalagi lagu-lagu yang diselingi dengan deklamasi seperti itu, wah, sippp!!!

Lagu memang media ampuh yang bisa membuat suasana hati menjadi riang, sendu, haru, atau bahkan menderu-deru.

Tahun 80-an merebak apa yang disebut oleh Bung Harmoko sebagai lagu-lagu cengeng. Itu versi dia. Kalau menurutku sih tergantung darimana kita melihatnya. Kalau sebagai sebuah hiburan, lagu-lagu itu tidak harus membuat kita menjadi cengeng lahir-batin.

Dengan TVRI sebagai satu-satunya media elektronik tv yang ada saat itu, maka para artis atau penyanyi yang muncul di tv menjadi pusat perhatian sekaligus idola masyarakat. Mereka begitu cepat meroket popularitasnya sekaligus juga cepat tergantikan oleh artis/penyanyi yang lain.

Dulu ada beberapa acara di TVRI yang menjadi favorit tontonan keluarga. Biasanya jadwal penayangannya pada malam hari sekitar pukul 19.00-22.00 WIB. Nah, aku untuk bisa menikmati tontonan di TVRI itu ada satu syarat yang harus kupenuhi, yaitu harus bobok siang terlebih dahulu! Karena besoknya harus bangun pagi. ^^

Kenapa, ya? Sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu, ketika hal itu kita simak lagi pada saat sekarang kadang menjadi sesuatu yang lucu, menggelikan, dan membuat kita tersenyum simpul.

***

Kamis, Maret 09, 2006

Kumpul Bocah

Rabu, 8 Maret 2006, akhirnya Raju diputuskan bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, Sumatera Utara. Muhammad Azwar atau Raju dinyatakan bersalah atas dakwaan menganiaya.

Sudah tahu semua, kan? Kalau belum tahu, bisa klik di sini dulu.

Singkat kata singkat cerita, si Raju itu diajukan ke pengadilan karena telah didakwa menganiaya teman sepermainan, dalam hal ini kakak kelasnya, si Eman.

Image hosting by Photobucket

Kasus si Raju ini mulai heboh karena si Raju yang ketika mulai berperkara masih berusia di bawah 8 tahun, namun telah diperlakukan layaknya sang terdakwa bagi orang dewasa. Mulai menjalani penahanan di rumah tahanan bersama orang dewasa yang lain serta menjalani proses pengadilan di pengadilan yang tidak diperuntukkan bagi anak di bawah umur.

Di luar carut sengkurat polemik tentang si Raju itu, aku jadi teringat tentang kenakalan-kenakalan di masa bocah dulu. Ada yang membuat tersenyum simpul, membuat geleng-geleng kepala, atau menepuk jidat tak percaya.

Dulu, entah sekarang, yang namanya bocah laki-laki berkelahi itu biasa, bahkan akan tidak biasa jika tidak mengalalmi hal tersebut. Tentu saja disebabkan oleh hal-hal yang sepele, jarang karena masalah politik, misalnya.

Tapi beberapa hal saat itu yang harus diperhatikan ketika berkelahi, tidak boleh saling mengeroyok, atau menggunakan senjata, baik senjata tajam maupun tumpul.

Agak menggelikan juga, bahwa ternyata aku terakhir berkelahi itu ya ketika masa taman kanak-kanak. Setelah berjibaku dengan seorang teman, akhirnya aku nyaris dikeroyok oleh beberapa anak yang lain. Namun keadaan yang semakin parah bisa dihindari karena keburu dipisah oleh ibu guru.

Ketika kecil dulu memang tubuhku lebih besar dan tinggi dibanding kebanyakan anak yang lain, jadi karena kewalahan, mereka main keroyok. Untung dicegah. Kalau tidak bisa gawat, karena ada yang membawa batu sekepalan tangan. :)

Setelah masa TK itu aku bisa dikatakan jarang berkelahi. Salah satunya karena penyaluran emosi mungkin sudah tertampung dalam kegiatan sepakbola. Seingatku dulu waktu main sepakbola di kampung, aku termasuk aliran main tebas dan agak berangasan, namun terampil mencetak gol…hehehehe…

Kalau diingat-ingat, dulu waktu masih bocah ingusan, berkelahi dipandang lebih jantan daripada kegiatan mencuri buah mangga kebun tetangga.

Ada sedikit pesan dan juga pembelajaran bahwa jika kita bersikukuh tentang kebenaran, tidaklah cela jika kita perlu mempertahankan dengan cara berkelahi. Daripada harus diam atau menangis saja ketika kita “dianiaya”.

Tapi itu dulu, ketika masih bocah ingusan dan suka main layangan.

Ketika mulai memasuki masa sekolah menengah sampai waktu kuliah, kegiatan berkelahi sudah tidak ada dalam agenda. Sudah merasa malu, tapi kalau jadi provokator kecil-kecilan masih…hehehehe…apalagi pada waktu demo marak tahun 98-an itu.

Aku tidak bisa membayangkan jika mengalami hal seperti yang si Raju alami. Pasti segalanya akan berubah. Perasaan tertekan, malu kepada teman, guru, dan tentu saja keluarga. Kalau kita sempat melihat liputan tentang si Raju di tv, pasti kita akan ikut merasakan hal tersebut.

Memang, membiarkan anak kecil berkelahi tidak baik. Namun selama orang dewasa tidak berada di samping mereka, perkelahian akan sulit dicegah. Diantara anak-anak itu bisa jadi akan memutuskan untuk saling memukul dengan karakter dan pemahaman lugunya.

Satu hal yang membuat kita tersenyum simpul mengingat masa bocah dulu adalah ketika kita bisa dengan cepat berbaikan, saling memaafkan, dan damai kembali dengan teman yang berkelahi dengan kita. Bisa dengan segera melupakan permusuhan tadi. Hmmm… ;)

Jadi, kalau orang dewasa sampai berkelahi, seperti kembali ke masa bocah lagi, dong? ^^v

Salam!

Rabu, Maret 01, 2006

Mata terbuka...tapi bisa apa?

Freeport dan Ketimpangan

Kunci kasus Freeport Indonesia saat ini sebenarnya terang-benderang. Kita tinggal melihat kembali peristiwa di sekitar penandatanganan Kontrak Karya I pada 1967.

Kita lihat buku Power in Motion. Karya Jeffrey Winters ini mengungkap naskah yang masa rahasianya baru saja kedaluwarsa. Kekayaan Indonesia, menurut naskah tersebut, dibagi-bagi ke berbagai perusahaan dunia dalam sebuah pertemuan di Jenewa pada 1967.

Tim ekonomi Indonesia yang mendapat mendapat julukan Mafia Berkeley hadir pada petemuan itu. Mereka menerima perlakuan itu bahkan seraya berpromosi: Indonesia punya buruh murah, cadangan sumber daya alam, dan pasar yang besar. Pada tahun itulah, Henry Kissinger yang mewakili Freeport mendapatkan Ertsberg, kawasan kaya mineral di Papua.

Melihat situasi peralihan politik pada tahun tersebut, kita bisa meraba adanya deal besar dalam pertemuan Jenewa tersebut. Ini jelas bukan sekadar masalah bisnis, tapi juga kekuasaan. Bukan sekadar konsesi tambang, tapi juga konsesi politik.

Celakanya, yang terciptanya kemudian adalah hubungan antara kekuatan ''ratu dunia'' dan ''hamba sahaya''. Kita bisa semakin merasakannya setelah mengamati bahwa pemerintah Indonesia--sampai kini--selalu tak punya wibawa setiap kali berhadapan dengan Freeport.

Seorang menteri lingkungan kita pernah mengundang bos Freeport Indonesia ke kantornya. Sang bos datang dengan sangat terlambat, namun tak menunjukkan penyesalan. Ia malah duduk dengan arogan di hadapan sang menteri, seraya bersilang kaki.

Situasi tak berubah pada 1991, saat Kontrak Karya II ditandatangani. Para pejabat kita hanya berputar kata-kata saat bicara soal Freeport. Juga, saat ini, ketika banyak pihak menuntut peninjauan ulang kontrak. Pemerintah tampaknya lebih terfokus pada upaya mendapatkan sedikit tambahan penghasilan dari kenaikan harga emas. Pembicaraan tentang kontrak yang berat sebelah dihindari.

Kita sulit memahami bahwa untuk hal-hal sepele seperti pasokan makanan saja kita tak punya martabat di hadapan Freeport. Pasokan tidak datang dari negeri ini, melainkan dari Australia dan Selandia Baru. Kontraknya seperti itu.

Belum lagi bicara soal pembagian keuntungan. Pertama, kita sulit mengaudit nilai kekayaan yang dikeruk dari tanah Papua. Lebih dari 95 persen konsentrat diolah di luar negeri. Kita tak tahu apakah yang mereka peroleh adalah emas atau loyang.

Kedua, pendapatan yang terungkap pun--termasuk dalam catatan Bursa Saham New York (NYSE)--ternyata menunjukkan ketimpangan besar. Total pendapatan negara sejak Kontrak Karya II, 1991, senilai 1,3 miliar dolar AS. Itu pun sudah termasuk royalti, retribusi, iuran, dan pendapatan dari pajak seperti pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Sementara, keuntungan bersih untuk Freeport McMoran mencapai 800 juta dolar setiap tahun.*

Itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk mencurahkan empati kita pada saudara-saudara dari Papua. Mereka tetap saja hidup tertinggal padahal gunung emas mereka dibongkar dan kelestarian alam mereka hancur. Mereka hanya bisa marah dengan berdemo dan memblokir jalan, namun sulit berharap lebih pada pemerintah. Mereka malah ditangkapi.

* Kurs Rupiah per 1 Maret 2006: 9.185/dolar AS

***


Ya, kita mungkin baru tersadar kembali sekarang. Ada yang salah dengan bangsa ini. Entah, apa karena kita terlalu sibuk dengan rutinitas kita atau kita sudah sangat skeptis menjurus pesimis dengan adanya perubahan di negeri ini. Perubahan ke arah yang lebih baik tentu saja.

Tepat Rabu, 1 Maret 2006 dinihari jam 00.00 WIB, tarif tol di beberapa ruas tol Jakarta naik. Alasan kenaikan cukup singkat namun membuat kita sebagai rakyat yang selalu setia berupaya membayar pajak tepat waktu pucat pasi, “Karena tarif tol sudah 2 tahun tidak naik.”

Ohhh…itu kata-kata dari seorang pejabat sangat teras yang mengurusi jalan tol. Adakah alasan ataupun kata-kata yang bisa membuat otak kita lebih bisa berpikir kreatif serta bisa memahami sekaligus mematuhi aturan itu dengan sukarela.

Karena tarif tol sudah 2 tahun tidak naik. Memangnya kenapa? Apa kalau sudah 5 tahun kemudian tidak naik berarti itu sebuah peristiwa yang luar biasa?

Berilah kami alasan yang lebih bijak dan melegakan. Mungkin pak pejabat itu sudah tahu reaksi masyarakat akan makin skeptis jika alasan kenaikan yang dikemukakan demi peningkatan layanan jalan tol yang lebih baik. Seakan tidak berkutik.

Bicara Freeport lalu jalan tol? Ya, alasan apalagi dari kenaikan tarif itu jika bukan demi peningkatan pendapatan pemerintah melalui layanan ruas jalan yang katanya bebas hambatan dan nyaman itu.

Jika saja pemerintah punya keberanian sebagai pengelola sah dan berdaulat negara ini meninjau kembali (dan ini bisa dilakukan sesuai perjanjian internasional jika ada pihak yang dirugikan) Kontrak Karya II Freeport yang pembagiannya merugikan anak cucu tujuh turunan itu, dijamin tarif tol tidak perlu dinaikkan, bahkan bisa jadi digratiskan!

Sekadar informasi, pembagian keuntungan Freeport adalah: PT Freeport McMoran 81,28 %, perusahaan swasta lokal (Indocopper investama corp, yang kemudian sahamnya dikuasai juga oleh Freeport) 9,36 %, dan pemerintah 9,36 % %. Wow! Kontrak Karya II dilakukan pada tahun 1991 dan berlaku selama 30 tahun!

Alasan bahwa pembagian untuk negeri ini kecil karena kita belum bisa mengolah hasil bumi sendiri sudah tidak masuk akal. Sudah berapa banyak kita berhasil menciptakan para ahli tambang sejak Kontrak Karya I pada tahun 1967 itu? Bukti sudah berbicara: sangat banyak dan mempunyai kemampuan yang tidak kalah dengan para ahli dari barat. Dan hal ini sudah diyakini oleh Bung Karno ketika menjadi presiden dulu.

Kita akan dikucilkan negara lain jika melakukan peninjauan kembali kontrak itu? Mengapa takut! Kita bangsa yang sangat kaya sumber daya alam sekaligus manusianya. Negara lain akan berpikir ulang memberi embargo total kepada kita.

Bahwa pemerintah kita tidak mampu membeli peralatan raksasa untuk mengolah tambang itu? Tidak masuk akal. Banyak pejabat pemerintah yang mampu menyelenggarakan pesta dengan biaya milyaran rupiah sekali jalan.

Sekarang tinggal keputusan pada pemerintah kita yang sebenarnya sangat berdaulat itu. Tidak heran jika amarah para penduduk asli Papua meledak akhir-akhir ini. Ini mungkin yang disebut dengan efek bom waktu yang sudah terpendam sejak 1967.

Jadi, tidaklah perlu mengiba-iba kepada para pengemplang dana BLBI untuk mengembalikan dananya ke pemerintah. Cukup satu langkah nyata mennjau kembali kontrak karya itu dan sekian masalah pendanaan di negara ini akan teratasi.

***

Rayuan Pulau Kelapa
Buah karya: Ismail Marzuki

Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa

Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala

Reff:

Melambai-lambai
Nyiur di pantai
Berbisik-bisik
Raja Kelana

Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah Airku
Indonesia

(-.-)