Kamis, Maret 09, 2006

Kumpul Bocah

Rabu, 8 Maret 2006, akhirnya Raju diputuskan bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, Sumatera Utara. Muhammad Azwar atau Raju dinyatakan bersalah atas dakwaan menganiaya.

Sudah tahu semua, kan? Kalau belum tahu, bisa klik di sini dulu.

Singkat kata singkat cerita, si Raju itu diajukan ke pengadilan karena telah didakwa menganiaya teman sepermainan, dalam hal ini kakak kelasnya, si Eman.

Image hosting by Photobucket

Kasus si Raju ini mulai heboh karena si Raju yang ketika mulai berperkara masih berusia di bawah 8 tahun, namun telah diperlakukan layaknya sang terdakwa bagi orang dewasa. Mulai menjalani penahanan di rumah tahanan bersama orang dewasa yang lain serta menjalani proses pengadilan di pengadilan yang tidak diperuntukkan bagi anak di bawah umur.

Di luar carut sengkurat polemik tentang si Raju itu, aku jadi teringat tentang kenakalan-kenakalan di masa bocah dulu. Ada yang membuat tersenyum simpul, membuat geleng-geleng kepala, atau menepuk jidat tak percaya.

Dulu, entah sekarang, yang namanya bocah laki-laki berkelahi itu biasa, bahkan akan tidak biasa jika tidak mengalalmi hal tersebut. Tentu saja disebabkan oleh hal-hal yang sepele, jarang karena masalah politik, misalnya.

Tapi beberapa hal saat itu yang harus diperhatikan ketika berkelahi, tidak boleh saling mengeroyok, atau menggunakan senjata, baik senjata tajam maupun tumpul.

Agak menggelikan juga, bahwa ternyata aku terakhir berkelahi itu ya ketika masa taman kanak-kanak. Setelah berjibaku dengan seorang teman, akhirnya aku nyaris dikeroyok oleh beberapa anak yang lain. Namun keadaan yang semakin parah bisa dihindari karena keburu dipisah oleh ibu guru.

Ketika kecil dulu memang tubuhku lebih besar dan tinggi dibanding kebanyakan anak yang lain, jadi karena kewalahan, mereka main keroyok. Untung dicegah. Kalau tidak bisa gawat, karena ada yang membawa batu sekepalan tangan. :)

Setelah masa TK itu aku bisa dikatakan jarang berkelahi. Salah satunya karena penyaluran emosi mungkin sudah tertampung dalam kegiatan sepakbola. Seingatku dulu waktu main sepakbola di kampung, aku termasuk aliran main tebas dan agak berangasan, namun terampil mencetak gol…hehehehe…

Kalau diingat-ingat, dulu waktu masih bocah ingusan, berkelahi dipandang lebih jantan daripada kegiatan mencuri buah mangga kebun tetangga.

Ada sedikit pesan dan juga pembelajaran bahwa jika kita bersikukuh tentang kebenaran, tidaklah cela jika kita perlu mempertahankan dengan cara berkelahi. Daripada harus diam atau menangis saja ketika kita “dianiaya”.

Tapi itu dulu, ketika masih bocah ingusan dan suka main layangan.

Ketika mulai memasuki masa sekolah menengah sampai waktu kuliah, kegiatan berkelahi sudah tidak ada dalam agenda. Sudah merasa malu, tapi kalau jadi provokator kecil-kecilan masih…hehehehe…apalagi pada waktu demo marak tahun 98-an itu.

Aku tidak bisa membayangkan jika mengalami hal seperti yang si Raju alami. Pasti segalanya akan berubah. Perasaan tertekan, malu kepada teman, guru, dan tentu saja keluarga. Kalau kita sempat melihat liputan tentang si Raju di tv, pasti kita akan ikut merasakan hal tersebut.

Memang, membiarkan anak kecil berkelahi tidak baik. Namun selama orang dewasa tidak berada di samping mereka, perkelahian akan sulit dicegah. Diantara anak-anak itu bisa jadi akan memutuskan untuk saling memukul dengan karakter dan pemahaman lugunya.

Satu hal yang membuat kita tersenyum simpul mengingat masa bocah dulu adalah ketika kita bisa dengan cepat berbaikan, saling memaafkan, dan damai kembali dengan teman yang berkelahi dengan kita. Bisa dengan segera melupakan permusuhan tadi. Hmmm… ;)

Jadi, kalau orang dewasa sampai berkelahi, seperti kembali ke masa bocah lagi, dong? ^^v

Salam!

0 comments: