Judul :
Ortu Kenapa, Sih?Editor :
Benny RhamdaniPenerbit:
Penerbit CintaKalau kita melihat hubungan orang tua dan anak, akan tampak sebuah hubungan yang unik. Unik dalam artian memiliki makna yang dalam dan kompleks.
Seperti yang tertuang dalam buku kumpulan kisah nyata para anggota komunitas Blogfam ini:
Teen World – Ortu Kenapa, Sih? – yang diterbitkan oleh
Penerbit Cinta.
Betapa tidak, untuk menggambarkan bagaimana hubungan orang tua anak atau bagaimana orang tua mendidik anaknya ketika masih belia bisa digambarkan dalam 4 macam “rasa”:
Hobi vs Ortu;
Pilihan vs Nyokap;
Kenapa Bokap; dan
Berakhir Indah.
Digambarkan di sana, orang tua mana yang tidak menginginkan seorang anak yang berbakti kepadanya. Sekaligus diharapkan memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan. Ditambah lagi bisa berguna untuk dirinya, keluarga, dan bangsanya. Sebuah keinginan yang sempurna.
Secara pribadi mungkin aku tidak mengalami hal yang se-ekstrim seperti yang dialami oleh Lili (
Aduh… Sakitnya), karena kebetulan aku juga mulai menggeluti hobi basket ketika masa-masa SMP. Orang tua, terutama bapak, tidak pernah secara ketat mengawasi kegiatan basketku, juga ketika menginjak kelas 3 ketika akan memasuki masa ujian akhir.
Namun empati yang ditimbulkan dalam kisah Lili begitu terasa bagiku. Bagaimana ketika semangat untuk basket sedang menggebu-gebu, namun di sisi lain ada pihak orang tua (sekali lagi seorang bapak) yang menginginkan basket bukan sebagai hobi yang harus digeluti. Sebuah keputusan yang berat bagi seorang ABG yang sedang “ranum-ranumnya”.
Untuk mencapai tahap sempurna itulah yang kadang menimbulkan bermacam gejolak hubungan antara orang tua dan anaknya. Ada kala seorang anak menuruti kata orang tuanya, ada pula kala dimana kata hati sang anak menjadi panduan langkah hidupnya.
Kadang hal itu harus dikecap oleh seorang Sam (
Saatnya Menjadi Diriku). Bayangkan ketika memasuki masa ujian, ada beban yang lebih berat disamping bahan ujian yang harus diselesaikan. Yaitu pilihan yang menggelayuti pikiran: pilihan orang tua atau pilihan hati nurani sang anak.
Namun, seperti yang tertulis dalam pengantar buku
OKS, rujukan dan masa yang berbeda bisa menyebabkan segala sesuatu tidak bisa seperti yang diharapkan. Rasa posesif orang tua terhadap seorang anak, apalagi terhadap anak tunggal, kadang bisa dianggap memberikan “kacamata kuda” orang tua terhadap situasi dan kondisi luar yang membuat seorang anak membuat pilihan atau diberikan pilihan.
Yang menjadi salah satu poin penting di buku ini adalah ketika penggambaran seorang anak yang memahami pilihan orang tua (dalam hal ini ibu di
Ransel Pilihan Ibu) cukup menarik dijadikan salah satu poin penting.
Seingatku, tidak gampang seorang anak ABG bisa berubah pikiran dan menerima apa yang sudah menjadi pilihan ibunya, ketika pilihan itu akan menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Dimana hal itu harus dijalani pula dengan perjuangan pulang ke rumah yang berjarak puluhan kilo dari tempat dia belajar.
Di dalam masyarakat Indonesia yang dikenal ramah-tamah, suka tolong menolong, mudah diajak bergotong royong, dan memiliki ikatan sosial yang kuat, terutama di daerah, ternyata memberikan efek yang sungguh berat bagi seorang Ryu Tri (
Sepotong Maaf).
Kondisi masyarakat kita harus diakui banyak yang suka menolong juga, namun menolong dalam hal mengabarkan atau memperbincangkan tentang orang atau masalah yang menimpa orang di sekitarnya. Biasa dikenal dengan istilah menggosip.
Betapa seorang Ryu Tri harus “menundukkan” muka setiap keluar dari pintu rumah demi merasa menjadi omongan para tetangga ataupun teman sekolahnya ketika hadir ibu yang kedua. Namun kebesaran hati seorang ibu dan posisi sebagai anak sulung di dalam keluarganya, mampu meneguhkan hati seorang Ryu untuk menyelesaikan masalah dengan bapaknya. Hasilnya sungguh mengharukan. Seorang anak yang justru harus mampu dan bisa memahami kondisi bapaknya, dengan jalan yang terkesan sepele: mau untuk berkomunikasi.
Apakah konflik bisa timbul antara orang tua dan anak saja? Tidak. Ternyata yang cukup potensial menimbulkan konflik di dalam keluarga juga bisa timbul antar saudara kandung. Bisa muncul secara langsung maupun tidak. Bisa secara implisit maupun eksplisit.
Dan hal apa sih yang membuat kita ingin kembali ketika berada jauh dari tempat asal kita? Ya, suasana rumah kita. Tempat keluarga kita tumbuh bersama. Apapun situasi dan kondisi yang ada, konflik yang terjadi, rumah selalu membuat kita ingin kembali. Prakoso Bhairawa Putera S. memberikan gambaran itu. Apalagi dengan saudara yang jumlahnya banyak, suatu konflik intern selalu mengintip setiap hari.
Secara keseluruhan, buku ini memberikan panduan dan pedoman yang baik untuk sasaran pembacanya. Memang, memasuki usia “teen” diperlukan sebuah pegangan yang tepat, diluar bimbingan orang tua tentu saja. Pegangan yang inspiratif, empatif, persuatif, dan sugestif.
Jadi, orang tua juga perlu baca buku ini, lho! :-)