Tepat dua bulan sudah sejak gempa 5,7 skala richter itu terjadi. Akhirnya bisa berkunjung ke tempat saudara yang menjadi korban langsung dari peristiwa alam itu.
Semua yang sejak semula menjadi tanda tanya dan sekadar khayalan, hari itu semua terlihat langsung. Mungkin agak terlambat ketika baru hari itu bisa menjenguk ke lokasi bencana.
Tapi setelah melewati sore melintasi malam yang dingin itu, aku justru merasa waktu itu yang pas berkunjung, paling tidak buat aku.
Paling tidak, secara psikis, kondisi saudara-saudaraku dan para tetangganya jauh lebih bisa menerima musibah itu saat ini. Walaupun secara fisik, terutama bangunan tempat tinggal mereka masih porak-poranda. Beberapa dari mereka semua masih tidur di tenda. Sampai saat ini.
Yang membuat aku terharu, mereka sudah bisa kembali ke kondisi semula. Tertawa, becanda, bahkan kadang mentertawai kondisi mereka tanpa bermaksud saling melecehkan. Banyak mereka ungkapkan cerita lucu di balik musibah yang menimpa mereka. Mereka seperti mempunyai teman bercerita, di luar orang-orang di sekeliling mereka selama ini.
Mereka sudah sangat bersyukur sekali masih diberi keselamatan. Harta bukan segalanya. Mereka sangat menyesali adanya penjarahan bantuan yang dilakukan oleh para korban gempa. Dimana sepupuku mengalami sendiri ketika dicegat oleh beberapa korban gempa ketika akan menyalurkan bantuan. Dia diberi pilihan, barang-barang diserahkan penjarah atau nyawa melayang. Karena pedang sudah dihunus, maka bantuan itupun akhirnya dilepas.
Agak mengerikan sebenarnya cerita yang mereka sampaikan. Ada beberapa saudara yang selamat tanpa mengalami luka di tubuh, justru ketika gempa terjadi mereka tidak berlarian kesana-kemari, hanya berdiam diri. Pakdhe, kakak dari ibu, harus mengalami tembok rumah rubuh di samping, depan, dan belakang tubuhnya. Namun, karena berdiri tepat di kolong pintu, maka terhindarlah dari rubuhan tembok rumahnya.
Demikian juga dengan kakak sepupuku, kemarin masih bisa bertemu dengannya, walau ketika gempa terjadi harus tertimpa atap rumah dan kepala bersimbah darah. Berhasil selamat dengan cara merangkak di lantai diantara debu-debu pengap yang beterbangan.
Ada satu orang saudaraku yang menjadi korban, terlempar dari lantai dua rumahnya, justru ketika sudah keluar rumah, dan masuk kembali untuk mengambil sesuatu.
Ketika disinggung tentang bantuan gempa, serentak mereka semua mengulum senyum. Senyum kecut. Ternyata bantuan gempa yang dijanjikan oleh bapak wakil presiden, selaku ketua Bakornas, belum sampai ke tangan mereka secara utuh.
Bapak wapres berjanji akan memberikan bantuan sebesar 30 juta, 20 juta, dan 10 juta bagi para korban gempa sesuai kondisi kerusakan tempat tinggal. Pada kenyataannya, mereka disamaratakan semua, semua hanya mendapat 5 juta rupiah. Dan belum semua menerima.
Aku datang sekitar waktu Ashar, dan rencana kembali ke rumah di kota sekitar sebelum maghrib. Namun ada sedikit keingintahuan yang mengurungkan niatku untung pulang lebih awal. Ingin merasakan malam di tempat yang serba terbatas itu.
Ya, Tuhan. Dingin. Dingin sekali. Angin malam begitu bebas masuk ke tempat tinggal darurat itu. Hari itu kebetulan tidak hujan, langit cerah lengkap dengan bintang malamnya, dihiasi juga dengan bulan sabit yang indah. Dan mereka tetap melewatinya dengan hati yang lapang. Aku hanya bisa diam.
Karena besok pagi buta harus kembali ke Jakarta, akhirnya sekitar pukul 10 malam aku putuskan untuk pulang.
Saling bertukar kabar, itu yang mereka pesankan ketika pamit pulang. Mereka juga sangat khawatir ketika sebagian Jakarta diguncang gempa. Mereka sendiri tidak ingin aku mengalami musibah seperti yang mereka alami.
Di sepanjang jalan Bantul-Kota itu aku masih harus melihat para korban yang harus tidur di tempat yang sangat terbatas. Kebetulan saat itu aku naik sepeda motor. Angin malam menusuk tulang sampai tubuh menggigil.**
Rabu, Agustus 02, 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar