Sepertinya baru kemarin kita menyeka keringat pakai selembar kain saputangan. Tiba-tiba benda itu mulai makin jarang dipakai, digantikan kertas tisu yang praktis dan mudah didapat. Ya, tampaknya ini jarang terlihat orang (apalagi perempuan) menyimpan saputangan di dalam tas atau kantung baju.
Saputangan sebenarnya sudah disebut-sebut dalam syair karya Catulus (85-87 SM). Tidak seperti saat ini, alat pengusap keringat kala itu terbuat dari jalinan rumput. Memasuki abad pertama sebelum Masehi, barulah saputangan terbuat dari kain linen. Meski sederhana, hanya golongan masayarakat kelas atas yang sanggup memilikinya. Itu sebabnya, saputangan diperlakukan dengan sangat istimewa dan untuk pemakaian yang eksklusif.
Memasuki abad ke-14, sudah banyak masyarakat di Eropa yang menyadari saputangan sebagai bagian tak terpisahkan dari gaya busana. Terutama di Italia, tempat pertama kali ide saputangan muncul dari seorang wanita Venesia, yang memotong-motong rami menjadi bentuk bujur sangkar dan menghiasinya dengan renda. Kala itu saputangan bertambah fungsinya sebagai sarana bertutur sapa di kalangan masyarakat kelas atas dengan cara melambai-lambaikannya. Sementara di gedung teater ia dilambai-lambaikan untuk memberikan sambutan hangat kepada para pemainnya.
Dari Italia saputangan menyebar ke seantero Prancis. Para bangsawan di bawah Raja Henry II memiliki andil besar dalam penyebarannya. Waktu itu saputangan sudah berbahan dasar sangat mahal, berhiaskan bordir sedemikian rupa sehingga sangat menarik dan menjadi barang mewah.
Fungsinya menjadi agak berbeda ketika cerutu diperkenalkan di Eropa abad ke-17. Menghisap cerutu menjadi kebiasaan yang sangat elegan. Sayangnya, menghisap cerutu dapat meningglkan noda cokelat di hidung yang sangat mengganggu penampilan. Di sini lah terjadi perkembangan dengan munculnya saputangan ukuran besar berwarna gelap. Sebelumnya, ia hadir dalam potongan mungil berenda dan berbordir nan kenes.
Suatu hari di abad ke-18 di Versailles Maria Antoinette menyatakan, saputangan berbentuk bujur sangkar lebih tepat dan lebih mudah dibawa kemana-mana. Bahkan Raja Louis XVI sampai mengeluarkan peraturan tentang ukuran bujur sangkar untuk semua saputangan yang dibuat di lingkungan istana.
Baru pada abad ke-19 saputangan sampai di Jerman. Namun baru beredar di kalangan bangsawan dan keturunan kerajaan. Saputangan juga menjadi hadiah umum dari pria yang menaruh hati kepada seorang wanita, atau sebaliknya. Dalam abad ini pula saputangan menjadi pelengkap wajib dalam gaya busana. Keberadaannya tidak lagi ngumpet di dalam tas, tapi sudah berani nongol di tangan.
Saputangan kemudian menjadi barang universal. Ia pun menjadi sarana komunikasi yang menarik. Meletakkan saputangan di pipi berarti "aku cinta padamu". Membawa saputangan ke pipi kanan, pertanda kita mengiyakan sesuatu, sedangkan ke kiri kita menolak. Meletakkan di dahi berarti, "kita sedang diamat-amati", dan jika diletakkan di bahu artinya, "ikuti aku". Bila seorang wanita meletakannya di bibir sambil menatap Anda, berbahagialah. Soalnya, ia ingin berkenalan dengan Anda!
Sayangnya, kini keberadaan saputangan perlahan terlindas tisu kertas yang praktis dan lebih higienis. Ah, sayang sekali kalau akhirnya saputangan jadi menghilang. Bukankah ia ramah lingkungan?
Sumber: Intisari, April 2005
Nb: Tapi, katanya ada mitos kalo memberi saputangan ke yayang kita, malah bikin putus, yah? Bener ga tuh? :D
Senin, Mei 30, 2005
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar