Pada hari Selasa (22/11/05) malam kemarin, kebetulan aku menghadiri acara temu alumni dengan adik-adik angkatan kuliah. Mereka sedang ada acara di Jakarta. Pertemuan itu sendiri diadakan di sebuah hotel yang berada di kawasan Mangga Dua.
Aku berangkat bareng
Mas Sulak yang kebetulan satu almamater. Wah, perjalanan yang lumayan jauh. Ciputat-Mangga Dua kalau kita naik mobil, lama waktu yang kita tempuh bisa sebanding dengan rute Jogja-Malang! :D
Tapi, keberadaan busway mulai terasa manfaatnya ketika kita menempuh rute tersebut. Dengan memarkir kendaraan di Gd. Dharmala Jl. Sudirman, kita melanjutkan dengan busway sampai mentok di stasiun Kota. Perjalanan begitu cepat dan nyaman.
Full ac dan tidak
uyuk-uyukan.
Singkat cerita kita sampai di tempat acara sudah terlambat. Resikonya ya jadi pusat perhatian…
hehehehe…
Setelah saling berkenalan dan berbagi cerita, acara dilanjutkan dengan diskusi. Yap, obrolan menjadi agak lebih akademis dan ilmiah, walaupun tetap porsi dagelannya lebih dominan.
Salah satu topik yang menjadi diskusi paling hangat yaitu masalah jurnalistik.
Apa sih jurnalistik itu? Jurnalistik adalah sebuah proses mencari, mengumpulkan, menyeleksi, dan mengolah informasi yang mengandung nilai berita, serta menyajikan kepada khalayak melalui media massa.
Selain relevan dengan disiplin ilmu, masalah jurnalistik menjadi fokus karena beberapa hal yang terjadi di sekitar kita .
Antara lain: Fenomena penyampaian berita dari stasiun televisi dan juga fenomena infotainment yang tidak pernah lepas dari kontroversi seperti saat sekarang ini.
Nah, merujuk dari hal tersebut, ingin rasanya menelaah program siaran televisi sebagai bahan kajian, sesuatu yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Mengapa masalah jurnalistik kita tekankan di sini? Karena fakta dan juga data menunjukkan bahwa selama ini masyarakat kita yang diterpa oleh media berada dalam jumlah yang cukup besar dan dalam durasi waktu yang lumayan lama setiap hari.
Apabila kita diterpa dengan berbagai informasi tersebut secara simultan dan terus-menerus, maka dibawah sadar kita bisa terpengaruh dengan fenomena maupun informasi tersebut.
Akan berakibat negatif apabila kita sudah terpola menerima informasi yang tidak proporsional dan tidak lengkap.
Secara mudah mungkin kita bisa mengamati tulisan di koran yang kadang tidak membuat kita semakin tahu tapi justru membuat kita menjadi bingung. Misalnya tentang berita penggrebekan sarang Dr Azahari di Batu Malang beberapa waktu yang lalu.
Ketika sejumlah informasi belum lengkap sudah disajikan, maka kita akan terjebak dalam sebuah situasi yang mengambang dan penuh tanda tanya. Bagaimana sebenarnya situasi itu terjadi? Apa yang sesungguhnya terjadi? Bagaimana kejadian itu akhirnya?
Bekal dasar yang paling mudah bagi kita ketika menerima sebuah informasi tentu dengan rumus 5 W + 1 H. Yaitu:
Who (siapa),
What (apa),
When (kapan),
Where (dimana),
Why (mengapa), dan
How (bagaimana). Dengan rumus itulah kita akan merasa imbang dengan informasi yang kita dapatkan.
Sebagai pedoman lainnya, harus kita bedakan dengan jelas antara fakta dan pendapat. Seperti yang selalu disampaikan oleh Aa Gym, suatu berita haruslah BAL, yaitu Benar, Akurat, dan Lengkap. Sebelum 3 hal itu terpenuhi, janganlah kita memutuskan sesuatu terhadap suatu berita.
Masalah etika komunikasi juga sangat penting. Namun demi sebuah dramatisasi, kadang hal tersebut diabaikan. Misalnya penampakan korban kecelakaan yang vulgar, penyajian sebuah suasana kesedihan atau penderitaan seseorang yang gamblang. Hal itu kadang membuat kita jengah maupun risi. Bukan keingintahuan yang terpenuhi, namun rasa muak yang kita rasakan.
Tidak jauh berbeda dengan tayangan infotainment. Tayangan tersebut sampai saat ini ternyata lebih banyak memiliki porsi berita tentang perceraian, perselingkuhan, bahkan masalah yang sangat pribadi sekalipun dari para narasumbernya.
Sesuatu yang tidak layak disampaikan. Apalagi jika ada anak dibawah umur yang ikut menyaksikan. Wah, bakalan tercemar sejak usia dini
deh!
Untuk sekali penayangan mungkin tidak masalah. Namun seperti yang kita tahu, tayangan infotainment di tv kita begitu banyak macamnya dan memiliki waktu penayangan dari pagi sampai sore. Dan celakanya lagi dengan materi yang 95 % sama antara satu tayangan infotainment dengan tayangan infotainment yang lainnya.
Bukan bermaksud menghakimi siaran televisi. Namun kedigdayaan media televisi untuk memberi bahkan mempengaruhi pemirsanya melalui tayangannya sangat signifikan sekali. Apalagi jika tayangan tersebut terjadi berulang secara periodik. Ambil contoh yang sangat mudah, tayangan iklan.
Untuk satu sampai dua kali penayangan mungkin belum terasa. Begitu kita menerima yang ke empat dan seterusnya, di bawah sadar produk yang diiklankan tersebut akan terngiang-ngiang terus. Seperti itulah gambaran singkatnya.
Trus, bagaimana solusinya? Sebagai media yang digunakan sebagai referensi dan tontonan, media massa, terutama tv, harus bisa memberikan sesuatu yang:
- Benar-benar terjadi,
- Benar-benar ada,
- Benar-benar, benar, dan
- Harus mengandung nilai kebenaran.
Terlihat ribet. Namun jika kita mencoba membiasakan diri, maka kita akan bisa segera menentukan apakah sebuah berita dari suatu media massa layak kita terima atau langsung kita buang sejauh-jauhnya. **
Salam hangat!