Minggu, Februari 05, 2006

Rasa Aman

Apa ya definisi rasa aman itu? Apakah sebuah rasa dimana kita merasa dapat melakukan segala hal tanpa ada gangguan sama sekali? Ataukah rasa dimana kita akan merasa tenang jika apa yang kita miliki tidak diusik oleh orang yang tidak kita kehendaki? Ataukah perasaan yang nyaman dimana kita tidak mempunyai prasangka yang buruk kepada seseorang? Atau…??? Apakah…??? Pertanyaan yang terus menggelayut.

Perasaan aman atau tidak aman mungkin baru kita rasakan ketika aktivitas kita terganggu oleh sesuatu yang ekstrim. Misal: seseorang yang mengambil sandal jepit kesayangan kita yang ditaruh di depan pintu rumah, ada pencoleng di lampu merah yang tiba-tiba menggetok kaca mobil kita kemudian meminta agak paksa benda berharga milik kita, penjambret yang tiba-tiba merebut tas ketika kita sedang asyik menunggu bis di halte, bahkan oleh benda mati semisal pohon yang rantingnya tiba-tiba jatuh nyaris menimpa kepala kita.

Image hosting by Photobucket

Untuk selalu memikirkan rasa aman itu ternyata banyak enerji yang harus kita keluarkan. Terutama enerji psikis. Kita kemanapun, dimanapun, sedang apapun akan selalu memikirkan hal itu. Kita akan merasa lelah. Harga itu mungkin yang harus kita bayar jika kita tidak mendapat jaminan bahwa kita merasa aman.

Untuk mendapatkan jaminan rasa aman itu mungkin kita harus mengorbankan sesuatu. Misalnya untuk rasa aman di rumah kita memperkerjakan seorang tenaga satuan keamanan; untuk uang, kita harus bersedia pergi ke bank atau meluangkan waktu ke ATM; untuk menyeberang jalan kita harus bersedia naik ke jembatan penyeberangan; atau sekadar menyediakan flash disk atau hardisk eksternal untuk back up file kita yang ada di komputer.

Terlalu memikirkan rasa aman itu sendiri ternyata akan berakibat negatif juga. Membuat kita tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak berani melakukan aktivitas apa-apa.

Sebagai solusi mungkin sikap waspada yang bisa kita lakukan. Waspada memang tidak bisa begitu saja kita lakukan. Waspada dengan bekal pengalaman akan segala hal menjadi penting. Waspada tanpa perhitungan juga akan sia-sia.

Contoh kecil dapat kita lihat ketika berhadapan dengan pengemis anak kecil yang banyak bertebaran di jalan raya. Dengan wajah lusuh dan lugunya mungkin bisa membuat kita trenyuh. Namun kalau kita perhatikan, mereka melakukan hal itu tidak dengan sendirinya, namun mereka dikerahkan dengan sengaja demi keuntungan pihak tertentu saja. Waspada dengan tetap “melihat” dan “mendengar”.

Aku sontak kembali memikirkan “rasa aman” kembali ketika terjadi sesuatu hal yang agak berlebihan mungkin. Dua hal saja aku ambil contoh.

Yang pertama ketika dalam perjalanan pulang kantor sahabatku harus merelakan tasnya diambil paksa oleh pencoleng saat ketika berjalan di dekat markas pasukan elit ini. Aku heran, pencoleng itu memang nekat sekali, atau karena situasi yang memungkinkan ketika kita akan merasa aman-aman saja berada di dekat markas itu. Tanpa tetap bersikap waspada ketika membawa tas milik kita.

Yang kedua kejadian yang belum lama terjadi. Sebuah mobil yang berada di garasi berhasil dibawa kabur oleh pencurinya. Mungkin itu hal yang biasa terjadi di Jakarta maupun kota-kota besar lainnya. Yang tidak biasa adalah kejadian itu terjadi pada rumah yang letaknya satu jalan dengan rumah pribadi pimpinan tertinggi institusi ini.

Wah, kok bisa, yah?

Ada sebuah ungkapan yang kebetulan sama dari dua sumber yang berbeda sebagai tanggapan ketika aku menanyakan mengapa dua kejahatan hal itu bisa terjadi. Yaitu salah ketika kita merasa aman berada di dekat sebuah tempat yang kita duga akan memberikan rasa aman untuk diri kita. Karena amannya atau wibawa dari tempat-tempat itu hanya berlaku bagi institusi maupun orang yang berada di tempat itu. Belum tentu berlaku bagi kita yang berada di luar lingkup. Hal itulah yang membuat kita berkurang “rasa waspada”nya.

Jadi kangen dengan suasana ronda di kampung-kampung. Dimana semua warga kampung merasa saling memiliki, saling menjaga, sehingga rasa aman terbangun. Semua dijalankan tanpa pamrih, walau mungkin kita harus merelakan tiap malam menyediakan sejumput beras sekadar untuk pengganti biaya operasional ronda. Kita akan merasa aman dan tenang di lingkungan itu dengan situasi “waspada bawah sadar” yang terbentuk dari sikap kekeluargaan yang kental itu.

Berangkat dari situasi tersebut, mungkin para pencoleng akan merasa risih sendiri ketika akan bertindak, karena akan dihadapkan pada situasi bagaimana jika keluarga atau saudara si pencoleng itu mengalami tindak kejahatan juga. Walau selama ini kita lebih banyak dihadapkan pada sikap untuk maklum bahwa mereka mencoleng hanya demi sesuap nasi untuk perut mereka dan anak istrinya. Sebuah kenyataan yang kadang menimbulkan senyum getir, bahkan ketika melihat langsung aksi mereka. Yah, senyum kehidupan.

Waspodolah! Waspodolah! Waspodolah!

0 comments: