Hari Olahraga Nasional diperingati setiap tahun untuk memperingati penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional I di Surakarta 9-12 September 1948.
Berkaitan dengan Haornas, yang jatuh tepat pada hari Sabtu (9/9) ini, berikut ini ada postingan yang juga pernah dimuat di sini. Yak!
OLAHRAGA : HOBI ATAU KARIR?
Yogyakarta, medio pertengahan 1995
Tersebutlah tiga orang yang sedang berbincang di pinggir lapangan dalam jeda latihan rutin sebuah klub basket. Tiga orang ini kita sebut saja dengan Mr X, Mr Y, dan Mr Z. Biar kayak kasusnya artis Nia Paramitho dan Gusti Rondo yang masih hot itu loh! Hehehe…
Di sini Mr X dan Mr Y adalah sang anak didik. Sedangkan Mr Z adalah sang pelatih. Mr Z sengaja memisahkan kami di antara yang lainnya yang sedang berlatih basket sekadar membincangkan sesuatu yang sepertinya sepele, namun di kemudian hari ternyata sangat signifikan pengaruhnya terhadap masa depan sang anak didik.
Ada sebuah pertanyaan klise yang diajukan Mr Z kepada kami: "Kalian basket untuk sekadar hobi atau karir?"
Mr X yang pertama kali diajukan pertanyaan sempat tercenung sejenak, meminum air mineral seteguk kemudian secepat kilat menjawab sambil tersenyum simpul, "Hobi!" Dan tidak kalah tangkasnya Mr Z menukas, "Oke, masalah selesai buatmu karena kamu memilih basket hanya sebagai hobi," sambil berkacak pinggang Mr Z melanjutkan, "setelah ini saya tetap melatih dan membina kamu tapi orientasinya berbeda dengan jika kamu memilih basket sebagai karir."
Mr X pun mengangguk mantap dengan pilihannya. Karena saat itu ia sudah menginjak bangku SMA kelas 2 akhir, dimana tahun berikutnya harus bersiap menyongsong ujian masuk perguruan tinggi negeri idaman. Pendidikan bagi dia tetap prioritas pertama.
Untuk Mr Y ternyata memilih yang sebaliknya. Sambil menyeka keringat di dahi ia dengan mantap dan suara bulat, jadi tidak hanya donat yang boleh bulat, menyatakan bahwa basket adalah sebuah pilihan untuk karir dan masa depannya.
Dengan jawaban Mr Y tersebut Mr Z menyatakan dengan tidak kalah mantapnya di depan kami bahwa ia akan habis-habisan juga melatih sekaligus membina demi karir basket dan masa depan Mr Y. Termasuk juga masalah pendidikan untuk jenjang berikutnya.
Kemudian latihan basket hari itu dilanjutkan seperti biasa. Sekitar jam 10 malam latihan berakhir.
Jakarta, April 2006
Ketika sedang membaca sisipan olah raga Rekor dari harian Republika, tiba-tiba wajah Mr X terpaku memandang foto sebesar seperempat halaman tabloid. Foto sosok yang menjadi topik pembahasan dalam sebuah artikel tentang atlet yang berhasil di Indonesia. Atlet basket tentu saja. Yah, siapa lagi kalau bukan Mr Y. Mr X pun terharu.
Kenangan tentang pembicaraan enam mata medio 1995 itu kembali muncul. Seketika itu juga Mr X menelepon ke HP Mr Y.
Panggilan pertama tidak diangkat. Yang terdengar hanya nada dering "Naluri Lelaki" dari grup band Samsons yang lagi nge-hit di Indonesia saat ini. Mr X sempat berpikir, akh, mungkin dia sedang latihan saat ini, tidak sempat menjawab. Mungkin.
Kemudian Mr X iseng mengirim sms. Akhirnya Mr Y merespon sms itu. Sebuah reply yang hangat. Mr Y tidak berubah. Akhirnya Mr X menelepon sekadar colek-colek sambil memberitahu artikel yang baru di baca tadi. Dan ternyata Mr Y belum baca, tertawalah mereka berdua!
Setelah bertukar kabar terakhir, bercerita, dan menanyakan kapan ada rencana pulang kampung, akhirnya mereka menutup pembicaraan dengan saling mengucap salam semoga semua baik-baik saja.
Mr X tahu persis perjalanan Mr Y sampai bisa seperti sekarang. Harus berpindah kota karena harus berpindah klub basket, harus pindah sekolah dan kampus demi karir basketnya juga. Harus menerima sikap sinis dari para senior saat awal-awal masuk di sebuah klub baru. Bahkan ada masa suram ketika kedua lututnya harus bergantian naik meja operasi. Maupun berbagai kesulitan ketika pindah klub dari kota Kembang ke klub di ibukota yang konon memecahkan nilai transfer tertinggi di Indonesia saat itu. Mr X tersenyum sendiri.
Namun halangan itu dapat dilewati dengan mulus. Menjadi iklan cetak untuk sebuah produk air mineral kondang sudah dijalani. Sempat menjadi model untuk baju buatan anak negeri. Juga menjadi model cover sebuah majalah. Yang pasti Mr Y saat ini sudah menjadi pusat perhatian. Sudah jadi public figure kalau bahasa infotainment-nya. :p
Mr X sudah pernah mengalami beberapa kali pembicaraan, baik di tempat umum maupun ketika selesai bertanding, dengan Mr Y terganggu karena banyak fans dari Mr Y yang ingin berfoto bersama. Dan kebanyakan dari mereka adalah para wanita.
Jakarta, menjelang 3 Mei 2006
Di Indonesia, setiap atlet yang ingin menekuni dunia olah raganya itu akan selalu diliputi oleh tiga dilema. Yaitu masalah sekolah, keluarga, dan juga kantor atau tempat si atlet bekerja.
Untuk Mr X, kontradiksi antara pilihan untuk menekuni olah raga atau pendidikan itulah yang dulu bahkan sampai saat ini selalu menggelayuti pikirannya.
Masih belum maksimalnya penghargaan secara materi terhadap para atlet itulah yang selalu membuat olah raga menjadi pilihan kedua setelah pendidikan dalam setiap prioritas para calon atlet ketika dulu ingin menjadikan olah raga sebagai sandaran hidup atau karirnya.
Dulu, dari setiap pertemuan yang terjadi antara Mr X dan Mr Y, selalu saja muncul pertanyaan tentang proses pendidikan yang dijalani Mr Y selama menekuni rutinitas basket di setiap klub yang berbeda-beda.
Dan yang selalu membuat Mr X salut adalah Mr Y akan selalu berusaha mengimbangi kegiatan basketnya dengan proses pendidikan yang dijalaninya. Dengan pertimbangan kesibukan untuk berlatih dan waktu yang tersedia, pendidikan yang diambil adalah strata diploma. Dan bisa diselesaikan dengan baik. Di Unpad lagi! Salut!
Sekadar catatan, sebagai bagian dari konsekuensi klub mengikat atletnya, pendidikan yang dijalani oleh atletnya itu bebas biaya alias ditanggung oleh klub yang bersangkutan.
Mr Y mungkin salah satu atlet yang beruntung. Dari setiap klub yang dibelanya selalu memberikan jaminan kelangsungan pendidikan.
Hal ini sangat penting. Bukan hanya sekadar sebagai pretise, namun lebih bermanfaat bagi si atlet untuk menyeimbangkan fungsi otot dengan fungsi otak. Sebagaimana otot, otak yang terlatih dan sering digunakan untuk berpikir yang konstruktif akan menghasilkan sebuah keputusan atau tindakan yang konstruktif juga.
Karena banyak fakta membuktikan bahwa apabila prestasi seorang atlet dan pendidikan yang dijalaninya bisa seimbang, maka prestasi si atlet pun biasanya juga bagus. Hal ini dapat dilihat di Amerika Serikat, misalnya pada kompetisi NCAA, yang sistem olah raga dan pendidikannya sudah baik, matang, dan berjenjang.
Walaupun sebenarnya di Indonesia hal tersebut sudah cukup lama dirintis. Yaitu sekitar tahun 80-an, dengan membentuk beberapa kantong Pendidikan dan Latihan (Diklat). Antara lain didirikan di Ragunan Jakarta dan di Kota Salatiga.
Ketika menjalani proses di diklat-diklat itu mereka sebenarnya bisa menorehkan prestasi yang membanggakan. Namun yang menjadi masalah adalah setelah mereka keluar atau lulus dari diklat. Belum ada sebuah sistem atau kompetisi yang baik bagi para lulusan.
Setelah keluar dari diklat mereka lebih banyak yang tinggal nama saja. Padahal waktu yang mereka habiskan di diklat cukup banyak. Antara lain harus kehilangan waktu menikmati masa-masa remaja bersama-sama teman-temannya, serta yang agak berat harus berpisah dengan keluarga.
Sekadar catatan, salah satu alumnus Diklat Ragunan yang mempunyai prestasi dunia adalah mantan petenis putri dari Yogyakarta: Yayuk Basuki.
Pada era 90-an pun pemerintah berupaya kembali menjembatani dunia olah raga dan pendidikan itu. Salah satunya menggandeng institusi perguruan tinggi negeri dengan program Pemilihan Bibit Atlet Daerah (PBAD).
PBAD ditujukan bagi mereka lulusan SMA yang memiliki bakat atau keahlian di bidang olah raga. Merke diberi kesempatan menikmati pendidikan di perguruan negeri tinggi negeri tanpa tes seperti halnya mahasiswa umum. Cukup dengan laporan rapor selama belajar di SMA dan sedikit tes keterampilan olah raga sesuai cabang yang dikuasainya.
Namun karena tidak dibekali dengan kurikulum yang sesuai dengan program PBAD tersebut, maka hasilnya pun kembali nihil. Mereka yang berhasil lolos ke PBAD ketika kuliah justru sebagian besar lebih fokus ke bidang pendidikan. Karena apabila mereka mencoba lebih giat berolah raga, maka mereka akan ketinggalan dengan teman mereka yang mahasiswa umum.
Karena kurikulumnya belum tersedia, mereka nanti akan lebih banyak membolos kuliah. Bahkan ada kasus yang tragis ketika seorang atlet karateka nasional harus mengalami ancaman paling kejam di perguruan tinggi, drop out! Sebab dia diharuskan mengikuti pemusatan latihan di luar kota, di mana dia akan banyak bolos dari jadwal kuliahnya.
Karena mengalami kehidupan perkuliahan yang berbeda, antara lain dengan sering membolos itulah pernah muncul istilah yang menegaskan dikotomi antara "atlet yang mahasiswa" dan "mahasiswa yang atlet". Yang pertama dianggap hanya bermodal "nasi" saja sedangkan yang kedua menggunakan otaknya sebagai modal dasar kuliah.
Tidak mengherankan apabila sebuah pilihan dari seorang anak untuk memilih olah raga sebagai jalan karirnya akan menjadi momok tersendiri bagi setiap orang tua. Mereka bisa dipastikan akan bimbang dengan pilihan buah hatinya.
Walaupun untuk saat ini penghargaan terhadap prestasi olah raga secara materi cukup memuaskan, terutama di cabang bulu tangkis dan bola basket, namun tanpa adanya jaminan ketika pensiun dari atlet itulah yang tetap membuat merinding disko.
Kurang dan lebihnya, salam olah raga! ***
Legenda:
Mr X, adalah penulis artikel di atas yang mengaku seorang yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung tidak menggemaskan sama sekali. Tapi boleh juga diklik di sini.
Mr Y, adalah sahabat Mr X yang baik hati itu. Bisa diraba di sini.
Mr Z, adalah Mas Budijanto, kiprahnya bisa dikilik-kilik di sini.
Sabtu, September 09, 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar