Rabu, Desember 06, 2006

Desember Ceria (Antara DPR, Poligami, dan Smack Down)

Dulu, ketika jaman kuliah, setiap memasuki bulan Desember, suasana kampus selalu semarak. Bukan hanya karena kehadiran adik-adik angkatan baru, yang katanya bisa memberikan semacam semangat baru, namun lebih kepada kegiatan yang seabrek pada bulan itu. Plus hujan yang lebih sering turun tentu saja. Maklum, kampus kami kan banyak pohon, rimbun, jadi tambah sejuk gitu lah…. :D

Kampus punya tradisi kegiatan pentas band sebagai semacam acara penutup di akhir tahun. Nama acaranya “Desember Ceria”. Ya. Semua aktivitas kampus bisa dikatakan tersedot untuk menyiapkan acara yang diharapkan selalu memberikan kesan yang spesial tiap tahunnya.

Itu dulu. Sekarang mau mbahas soal yang aktual. Nah, saat ini ternyata bulan Desember di Indonesia benar-benar semarak juga. Secara spesifik semarak dalam hal “Semarak Tayangan”. Mulai tayangan masalah anggota DPR yang “khilaf”, poligami yang ternyata menimbulkan pro kontra, sampai-sampai pemerintah perlu melakukan revisi masalah Peraturan Pemerintah tentang proses perkawinan warga negaranya. Dan yang terakhir adalah semarak mengenai tayangan gulat impor “Smack Down”, yang dianggap sebagai pemicu meninggalnya seorang murid sekolah plus beberapa murid yang benar-benar babak belur karena ekses tayangan gulat itu!

Soal anggota DPR sudah banyak yang berkomentar, bahkan salah satu “pemain” sudah membeberkan sekaligus mengakui apa yang sudah dilakukannya. Di berbagai media massa. Tidak akan ditulis lagi soal ini di sini. Apalagi menyantumkan link video itu! :p

Mengenai poligami, yang menyeruak karena dilakukan oleh seorang “panutan” bangsa saat ini, juga tidak akan ditulis lagi di sini. Di sini sudah komplit laporannya. Apalagi sudah menjadi headline tabloid gossip tenar! Hehehe….

Photobucket - Video and Image Hosting

Nah, aku kok lebih tertarik pada soal tayangan “Smack Down” yang dikategorikan sebagai tayangan sangat berbahaya dan tidak sehat secara mental dan fisik bagi penontonnya, terutama untuk anak-anak di bawah umur (di bawah 17 tahun).

Kenapa berbahaya? Di tayangan tersebut diperlihatkan bagaimana terjadi sebuah pertarungan yang begitu brutal (aslinya pertarungan itu adalah sebuah akting belaka) yang jika gerakan-gerakan itu ditiru oleh para anak di bawah umur akan mengakibatkan luka, alam bawah sadar untuk menyerang temannya, bahkan nyawa melayang.

Setelah menjadi polemik di media, serta peringatan untuk stasiun tv yang menyiarkannya, akhirnya tayangan tersebut dihentikan sama sekali. Tulisan pengiring di layar kaca bahwa tayangan tersebut untuk orang dewasa serta jam penayangan yang larut malam belum bisa diterima sebagai semacam pencegahan ekses negatif. Hanya satu yang diinginkan publik (entah tulus atau ada maksud terselubung), bahwa tayangan Smack Down harus out dari hadapan masyarakat Indonesia.

Urusan selesai? Belumlah. Lha, kok? Untuk kasus Smack Down jelas belum. Karena ternyata tidak hanya tayang melalui tv yang anak-anak nikmati. Namun juga tayangan Smack Down versi permainan atau game melalui Play Station. Kaset atau keping CD gametersebut masih dijual bebas dimana-mana.

Tayangan-tayangan lain yang sangat (sangat) berpotensi meracuni sekaligus merusak pola pikir anak di bawah umur lainnya masih juga gentayangan di layar kaca setiap harinya.

Misalnya tayangan mengenai kekerasan, tayangan gosip, serta sinetron-sinetron yang seperti melemotkan daya logika pemirsa masih berkeliaran di waktu “anak-anak masih bercengkerama”.

Memang, tuntutan rating dan iklan tidak bisa dikompromikan. Memang masyarakat umum (kebetulan mayoritas berdasar survei) sangat menikmati tema-tema seperti itu. Memang stasiun tv bisa kolaps kalau iklan seret. Namun, apakah kita harus menutup mata begitu saja?

Dulu, waktu kuliah, ada satu materi kuliah yang sampai saat ini nyantol di otak. Yaitu materi mengenai empati. Ya, kunci dari sebuah komunikasi (maklum, dulu kuliah komunikasi, Mas :-D ) adalah empati dari pihak-pihak yang saling berkomunikasi. Baik komunikasi langsung (face to face), maupun tidak langsung (dimediasi oleh media massa).

Komunikasi akan berjalan lancar dan bisa diterima oleh para audienceatau target kita jika empati yang kita timbulkan sebagai sumber informasi berjalan baik juga.

“Opo tho empati kie????” *Thukul style mode on*

Empati adalah sebuah sikap kita sebagai sumber informasi (sender) yang mau dan mampu untuk menyelami perasaan sekaligus pemikiran pihak yang akan menerima informasi kita. Sehingga apa yang ingin disampaikan atau diberikan bisa diterima dan dipahami oleh audience (receiver), tentu saja dengan kemampuan untuk mengatasi noise-noise yang ditimbulkan ketika pesan itu berjalan.

Kadang eneg juga kalau misalnya tayangan penggusuran pedagang kaki lima harus dibumbui dengan gambar kepruk-keprukan antara pedagang vs satpol pp. Penjahat yang di-dor terus harus berjalan terseret-seret dengan kaki berdarah-darah, atau tayangan sinetron mengenai siksa-siksa “neraka dunia” yang digambarkan dengan assesoris yang bisa melemahkan nafsu makan.

Apakah hal-hal tersebut dianggap biasa-biasa saja? Apakah kita sebagai bangsa sudah mempunyai empati? Hanya anggota DPR...eh, salah…rumput yang bergoyang yang bisa menjawab.

Kalau istilahnya Thukul sih: Kembali ke… Laptooooooppppppp!


Monggo!

0 comments: