Angkotku sayang, angkotku malang...
Setiap aku melihat mahluk di atas, pikiranku selalu melayang ke masa lalu.
Alkisah. Suatu pagi, ketika masa-masa awal mengarungi kehidupan di Jakarta (medio 2001), aku naik angkot jurusan Pasar Minggu-Pondok Labu, untuk menuju kawasan Cilandak. Kalau tidak salah angkot dengan nomer lambung M 36.
Mulai naik dari kawasan sekitar Pasar Minggu. Seperti sudah menjadi insting bawah sadar, aku selalu memilih angkot yang masih belum penuh penumpangnya. Tentu saja agar leluasa menentukan posisi duduk. Dan posisi pojok akhirnya kupilih.
Sudah ada penumpang rupanya. Dua orang ibu rumah tangga lengkap dengan barang bawaan hasil belanja di pasar. Sedikit kulihat ada beberapa ikat sayuran di dalam tas plastik yang dibawa. Dan diantara mereka terlibat pembicaraan yang hangat, soal anak mereka rupanya.
Hmmmm...awal perjalanan cukup lancar. Tidak macet. Angin semilir yang menerobos melewati sekat kaca belakang mobil, cukup memberikan sedikit suasana nyaman. Sedikit saja.
Ketika melewati daerah Universitas Nasional (Unas), situasi lalu lintas mulai tersendat. Ada apa yah? Oh, ternyata ada pertigaan di depan. Pertigaan dari arah Buncit menuju Pasar Minggu. Maklum, lampu pengatur lalu lintasnya mati. Maklum? Huh!
Ketika melewati pertigaan itu, angkot berhenti untuk menaikkan penumpang. Situasi mulai aneh. Orang yang mencegat angkot tidak sendirian. Sepertinya tidak saling mengenal, tapi terlihat saling mengenal. Bingung kan?
Orang pertama, dan bertopi, mulai naik. Tiba-tiba diikuti oleh beberapa orang lagi. Pertama tiga orang, di bangku belakang. Kemudian naik lagi lima orang, tiga di belakang dan dua orang di depan, di samping sopir. Wah, sudah penuh nih angkot, pasti nggak akan menaikkan penumpang lagi, pikirku.
Untuk beberapa saat, diantara kita pun saling bertatapan. Hanya beberapa saat saja. Setelah itu, aku pun kembali menikmati sisa perjalanan.
Sebenarnya ada yang tidak biasa tertangkap oleh mataku. Orang yang berada di sebelah kiri orang yang bertopi, berambut ikal dan mempunyai rahang yang keras, membawa sebuah bungkusan kecil.
Berupaya cuek, tetap tidak bisa. Terpikirkanlah olehku bungkusan itu. Terbuat dari semacam kertas semen, berwarna kecoklatan. Entah apa isinya.
Ketika angkot melewati jalan yang menurun dan lalu lintas mulai tersendat, tiba-tiba dari bungkusan itu keluar semacam suara burung. Ah, kaget juga aku. Sialan!
Begitu juga dengan dua ibu yang kebetulan berada di samping kananku. Mereka saling berpandangan heran. Salah satu dari ibu itu sambil tersenyum simpul akhirnya berujar, “Eh, burung apaan tuh, Mas?”
“Ini yang namanya Jalak Irian, Bu!”, cetus lelaki berahang keras itu, “kalo kita pancing pake siut kita aja, langsung nyahut dia.” Dan bla...bla...bla lainnya terlontar dari lelaki itu kepada dua orang ibu.
Oh, orang jualan burung, pikirku. Dan mulailah dia menawarkan burung itu dengan harga awal 250 ribu. Cukup terkesima juga ibu-ibu itu, walau mereka belum melihat burung yang dimaksud. Karena memang belum diperlihatkan oleh lelaki itu. Takut kabur, katanya.
Tanpa dinyana, orang yang bertopi dan beberapa orang yan lainnya mulai bersuara. Orang yang bertopi mulai memuji-muji si burung itu, diikuti oleh orang yang satu lagi. Tiba-tiba orang yang ikut naik bersama yang bertopi tadi mulai dengan sebuah ucapan, semacam penawaran. Dia menawar seharga 200 ribu. Terlihat negoisasi dengan si rahang keras.
Eit! Tunggu dulu! Ada yang aneh. Tanpa sengaja, kulihat dari gerak bibir si rahang keras, dia melakukan gerakan yang mengingatkanku akan masa kecilku. Yap! Itu dia!
Dia melakukan gerakan bibir seperti meniup sesuatu, tapi dengan posisi mulut terkatup. Aha! Aku ingat ketika saat perayaan pasar malam dan perayaan sekaten diadakan di dekat rumahku di Jogja.
Bentuk benda yang ditiup itu pipih. Seperti uang koin, tapi setengah lingkaran, dan terbuat dari campuran antara karet dan logam yang pipih sebagai penjepit. Prinsip kerjanya seperti peluit, tapi ketika ditiup, diletakkan tepat diatas lidah.
Saat itu aku sangat terkesan sekali. Karena bisa memukau orang-orang dengan menirukan suara-suara burung. Kalau tidak salah dijual bebas dengan harga sekitar 500 perak per buah. Cara menjualnya mirip sekali dengan para penjual obat jalanan. Cukup diletakkan di atas sebuah alas.
Memang perlu sedikit latihan untuk bisa memainkan mainan itu. Semakin tidak kentara ketika kita meniup, semakin ahli lah kita. Dan kita akan sukses untuk mengelabui orang dengan suara burung tiruan kita.
Back to the journey of angkot, aku hanya sanggup untuk menahan geli. Kutahan sekuat tenaga. Takut menyinggung perasaan dari mas si rahang keras. Ada-ada saja.
Sempat tergoda juga sebenarnya salah satu si ibu itu, tapi akhirnya transaksi itu urung terjadi ketika para ibu harus turun di tempat yang dituju. Setelah mereka turun, tinggal aku sendiri bersama rombongan lelaki aneh itu.
Ketika aku sedang menatap kaca belakang angkot, tiba-tiba sebuah tepukan yang lumayan keras menerpa paha kiriku. Pok! Eh, dari si lelaki bertopi itu rupanya. Aku tetap berusaha tenang, walau agak kaget dan sedikit tegang. Ada apa nih?
Gendam? Mejik? Ternyata bukan. Karena aku tetap merasa sadar dan everything is under control.
“Mau beli burung nggak?”, tanya si bertopi. “Nggak!”, jawabku santai. Lho? Bukannya burung itu kepunyaan si rahang keras itu toh? Kok malah si bertopi itu yang menawari aku. Sempat berupaya berpersuasi agar aku membeli burung itu, tetap saja aku jawab tidak.
Berarti benar dugaanku di awal bahwa mereka semua sebenarnya saling mengenal. Dan si bertopi itulah yang memimpin rombongan itu. Aku semakin bertambah deg-degan. Bingung.
Dan tanpa diduga, si bertopi melontarkan sebuah pertanyaan penuh penekanan, “Punya uang nggak?”
Wah, apa-apaan nih, pikirku. Jangan-jangan mau memeras? Langsung saja kujawab, “Nggak!”
Saat itu aku benar-benar tidak membawa uang yang banyak. Harta yang paling berharga hanya HP Siemens C 25-ku. Dan sudah kusimpan dalam keadaan silent di dalam tas ransel.
Masih dengan tatapan intimidatif, dia bertanya lagi, “Mau ke mana kamu?” Dengan santai kujawab, “Kavling Polri Cilandak.”
Tanpa kuduga, reaksi si bertopi dan kawan-kawannya mulai tampak jelas berubah dengan jawaban terakhirku itu. Mungkin karena alamat itu merujuk pada komplek sebuah institusi keamanan negara. Dan semua orang tahu, bahwa Kavling Polri Cilandak adalah perumahan bagi para perwira polri. Mulai terasa agak lega sekarang.
Semuanya seperti melakukan suatu gerakan tubuh untuk saling berkomunikasi. Termasuk yang duduk di samping sopir. Dan aku tidak paham.
Sekedar informasi, seperti sudah paham apa yang terjadi, sang sopir pun tidak berkutik sama sekali dengan situasi itu. Dia berlagak tidak terjadi sesuatu di angkotnya. Hal itu dapat kurasakan, ketika mata kita saling beradu di spion tengah angkot.
Tidak dapat kusalahkan memang. Karena bagaimanapun juga, dia pasti juga memikirkan nasibnya apabila dia melakukan tindakan heroik untuk mencegah upaya pemerasan itu. Angkot tetap melaju, tapi tidak menaikkan penumpang lagi. Wah!
Dengan tetap berupaya menjaga wibawanya, si bertopi kembali bertanya, “Asalmu dari mana?” Kujawab, “Dari Jogja.”
“Jogjane ngendi?” tanya dia lagi, kali ini dengan bahasa Jawa. Kujawab juga dengan bahasa Jawa. Aku ingat saat itu, bahwa melakukan pendekatan yang efektif dengan orang lain, adalah dengan melakukan pendekatan demografis. Salah satunya dengan bahasa daerah tadi.
Raut mukanya semakin bertambah tidak karuan. Seperti mendapat angin, aku pun berusaha untuk bersikap setenang mungkin. Yang penting tidak ingin membuat mereka emosi. Wah, gawat! 8 lawan 1! Hehehehe...
Seperti dikomando, ketika si bertopi turun dari angkot, anggota rombongan yang lain pun ikut turun. Saat itu angkot sudah hampir mendekati daerah perempatan tol Simatupang-Ragunan.
Ada kejadian yang membuat aku pingin ketawa ketika mereka turun. Berupaya untuk tidak kehilangan muka, mereka berlagak membayar kepada si sopir. Tapi uang yang akan diserahkan itu ditarik kembali. Dasar, preman!
Masih tetap terngiang-ngiang dengan kejadian tadi, aku pun berhasil menyelasaikan sisa perjalanku menuju Cilandak. Sambil tersenyum-senyum sendiri. Dalam hati tentu saja! Sada-sada aja!
Seperti peristiwa yang lainnya, ada hikmah yang dapat kita ambil.
Dan seperti yang Bang Napi utarakan, jikalau kita dihadapkan pada situasi seperti tadi:
- Jangan panik dulu, pelajari situasi sebaik mungkin,
- Tetap fokus, siapa tahu mereka menggunakan ilmu gendam atau mejik dkk-nya,
- Simpan barang berharga kita di dalam tempat yang tertutup,
- Kenali sebaik mungkin daerah yang akan kita lalui dan daerah yang akan kita tuju (menyebutkan daerah berbau institusi keamanan terbukti ampuh untuk kejadian itu),
- Kenali orang yang ingin berbuat jahat terhadap kita (menggunakan pendekatan demografis-bahasa daerah-untuk kasus tadi cukup membuat mereka sungkan untuk berbuat jahat kepada kita),
- Seperti yang sering diutarakan oleh para orang tua jaman dahulu, berdoalah terlebih dahulu sebelum kita berpergian,
- Waspadalah! Waspadalah!!!
*Satu (preman) untuk semua (komplotannya)....Hehehe...mohon maaf yang sebesar-besarnya untuk Mas SCTV...(^.^)
Salam jabat erat!
0 comments:
Posting Komentar