Gettyimages
Minggu, 25 Juni 2005. Waktu masih menunjukkan sekitar pukul 20.30 wib. Ketika itu tiba-tiba saja konsentrasiku tertuju ke arah tv. Acara yang sedang muncul di layar kaca adalah Oasis, ditayangkan oleh stasiun MetroTV.
Oasis. Sebuah acara yang mengetengahkan tentang sisi kehidupan manusia dengan segala keunikan dan kesahajaannya. Kadang mengharukan, termasuk malam itu.
Sebuah kisah tentang kehidupan seorang tukang pembuat roda untuk andong, sarana angkutan yang menggunakan tenaga kuda sebagai penariknya. Sebut saja sang pembuat roda itu dengan nama Musiran. Sebuah nama yang sederhana. Sudah berusia lebih dari 60 tahun. Kebetulan Pak Musiran ini tinggal di daerah Jogja bagian selatan. Sebuah daerah yang tidak asing lagi bagiku.
Seperti pekerjaan yang membutuhkan keterampilan lainnya, profesi pembuat roda untuk andong ini juga biasanya dimiliki oleh orang yang memiliki bakat tersendiri. Dan Pak Musiran tidak segan juga untuk membagi ilmunya dengan para tetangganya, demi meningkatkan derajat kesejahteraan mereka. Hebat.
Setelah memiliki masa keemasan sekitar tahun 80-an, profesi ini untuk saat sekarang mengalami masa yang bisa dibilang mulai suram. Dalam satu bulan mereka hanya menerima pemesanan dua roda andong. Lain dengan dahulu, bisa lebih dari sepuluh roda.
Dengan bantuan dari para tetangganya, Pak Musiran mengerjakan semua pekerjaan itu secara manual, atau handmade. Mulai dari mengolah kayu, mengolah bagian besinya, sampai finishing.
Bahkan usaha Pak Musiran pernah hampir mengalami kepunahan dan dipunahkan. Untungnya, pihak Kraton Jogjakarta mempunyai program untuk melestarikan moda angkutan ini sebagai salah satu benda budaya dan ciri khas kota Jogjakarta.
Pak Musiran cukup bijak dalam menghadapi segala goncangan bisnis yang menimpanya sekarang. Karena order mulai kecil volumenya, para tetangga yang ikut membantunya mulai meninggalkan Pak Musiran satu-persatu. Mereka mulai berganti profesi.
Dengan kondisi seperti itu pun Pak Musiran tetap tenang. Segalanya tetap terpenuhi. Mulai dari sandang, pangan, dan juga papan. Keluarga dengan istri dan tiga anaknya tetap bisa menjalani hidup dengan nyaman.
"Urip niku pun wonten sing ngatur. Ingkang Kuwaos sing ngatur. Nek kulo dicaosi urip nggih saged urip ngantos sakmeniko. Mboten wonten tiyang sing saged ngatur nasib'e kulo, namung ingkang Moho Kuwaos ingkang saged," */ tutur Pak Musiran sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang tinggal beberapa saja.
Tiba-tiba aku mulai merenung. Wah, orang kalo ga neko-neko memang nikmat hidupnya. Mengalir saja, kalo istilah dalam sebuah cerita. Tentu hal itu sangat kontras dengan berbagai berita yang mendera otakku akhir-akhir ini. Korupsi.
Edan memang. Kok bisa ya orang berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain dengan tenang, setenang Pak Musiran dalam menghadapi hidupnya itu. Mulai yang paling heboh kejadian di KPU, kemudian yang paling akhir kejadian soal dana abadi umat.
Yang tidak habis pikir juga adalah masalah persediaan premium kita yang hanya bisa untuk persediaan 22 hari saja. 22 hari saja, tidak sampai satu bulan! Apakah hal itu terjadi akibat korupsi? Hmmmm...Nyuuuuutttt...langsung deh, tiba-tiba nama Petronas melintas di kepala. Yap, perusahaan minyak milik Malaysia itu memang heboh.
Dulu awal masa berdirinya mereka belajar dari Pertamina. Sekarang kondisi terbalik. Kita ternyata harus merangkak-rangkak sambil melihat dek Petronas bisa membuat tower, nyponsori tim balapan F-1, dan juga mampu membeli ladang-ladang minyak di mana-mana.
Mungkin orang seperti Pak Musiran cuma akan tersenyum simpul saja jika ditanya bagaimana perasaannnya menerima uang sejumlah 15.000 dollar, seperti yang buat bancakan di KPU itu. Kalau saja berpikiran praktis dan bisnis, tentu dia akan segera menjadi juragan andong plus mendirikan pabrik pembuat roda andong yang menggunakan mesin.
Tapi, rasa-rasanya kok tidak dia lakukan yah. Melihat cara Pak Musiran melihat hidup ini, tentu bukan hal itu yang dia cari. Ketika mempunyai rejeki dan suatu usaha yang bisa memberikan kehidupan bagi orang lain, dia lebih memilih untuk berbagi. Ketika rejeki itu seperti jauh darinya, dia hadapi dengan ringan dan tidak neko-neko. Pun untuk menggantungkan nasib pada sebuah permainan togel, misalnya.
Layaknya roda andong, dia akan terus berputar. Ada kalanya berada di atas, ada waktunya harus berada di bawah. Tinggal bagaimana kita menghadapi dan menyikapinya.
*/"Hidup itu sudah ada yang mengatur. Yang Maha Kuasa yang mengatur. Kalo saya diberi hidup ya pasti masih hidup sampai saat ini. Tidak ada orang yang bisa mengatur nasibnya saya, tapi hanya yang Maha Kuasa yang bisa."