Kita hidup pastilah merasakan berbagai sensasi yang sangat beragam. Mulai dari ketika kita bangun tidur sampai beranjak ke peraduan untuk sekadar merelaksasikan segala kepenatan.
Begitu seterusnya sampai kita mungkin selalu bergumam, Akh, betapa cepatnya waktu bergulir. Kok, sudah hari Jumat lagi, yah? Antara takjub dan perasaan lega karena besok sudah libur.
Diantara waktu yang luang, aku sempatkan untuk googling tentang hal ritual. Dalam kehidupan terutama. Karena berasal dari Jawa, maka aku coba cari dari bagian yang paling dekat dari kehidupanku itu, hal yang paling mudah dipahami tentu saja.
Ketika kita dilahirkan, sebuah ritual sudah kita jalani, sampai kita melaksanakan apa yang disebut dengan pernikahan. Bahkan ketika pasangan kita melahirkan buah cinta yang menjadi tanda cinta semesta persona.
Ritual itu selalu saja berulang dan terus berulang. Hal yang sebenarnya bisa dijadikan sebuah pegangan hidup bagi kita. Walau mungkin kita merasa belum lengkap karena belum melewati semuanya.
Mungkin ada yang sudah sering mendengar, bahkan melewati fase tersebut. Tapi ada juga yang barangkali belum pernah sama sekali. Yah, hitung-hitung semacam nguri-uri budoyo daerah sebagai sebuah kekayaan dan ritual (adat) yang harus dijaga. Sebuah ritual dari dalam beteng keraton.
Ritual atau upacara yang biasa dijalankan dan bisa mewakili tahapan yang sudah atau akan kita jalani itu antara lain:
Bahan Brokohan.
Brokohan, yaitu upacara kelahiran bayi. Sesaji yang disediakan yaitu dawet, gula Jawa (satu tangkep), kelapa, kembang setaman.
Selapanan, yaitu upacara pemberian nama pada bayi yang baru lahir. Upacara itu diadakan pada hari ke-35 setelah kelahirannya.
Si anak sedang menapaki jadah warna-warni.
Tedhak Siten, upacara ini diperuntukkan bagi bayi yang berusia antara 5-6 bulan pada saat pertama kali turun ke tanah.
Urutan upacara tedhak siten:
1. Menginjakkan kaki bayi ke atas jadah sebanyak tujuh piring. Artinya agar kelak setelah dewasa selalu ingat tanah airnya.
2. Menaikkan bayi setahap demi setahap ke atas tangga bersusun tujuh yang terbuat dari tebu wulung. Artinya agar ia mendapat kehidupan sukses dan dinamis setahap demi setahap.
3. Memasukkan bayi berikut inang pengasuh ke dalam kurungan dan menanti sampai bayi tersebut mengambil barang-barang yang disediakan dalam kurungan yang terdiri dari buku, pensil, wayang kulit, perhiasan emas berlian, dan mainan. Benda yang pertama kali diambil sang bayi akan melambangkan kehidupannya kelak.
4. Siraman, yaitu memandikan bayi dengan air bunga setaman yang bertujuan agar ia dapat menjalani kehidupan yang bersih dan lurus.
Tetesan, yaitu upacara khitanan untuk putri raja yang berusia 8 tahun. Upacara tetesan diadakan di Bangsal Pengapit sebelah selatan Dalem Prabayeksa. Dihadiri oleh garwa dalem, putra dalem, wayah, buyut, serta canggah.
Selain itu juga abdi dalem bedaya, emban, amping, abdi dalem keparak berpangkat tumenggung serta Rio yang duduk di emper bangsal pengapit. Abdi dalem lainnya berada di halaman sekitarnya.
Busana yang dikenakan untuk upacara tetesan terdiri dari nyamping cindhe yang dikenakan dengan model sabukwala, lonthong kamus bludiran, cathok kupu terbuat dari emas, slepe, kalung ular, subang gelang tretes, dan cincin tumenggul. Sanggulnya berbentuk konde dengan pemanis bros di tengahnya dan hiasan bulu burung bangau yang disebut lancur. Di atas sanggul diletakkan pethat berbentuk penganggalan atau bulan sabit.
Supitan, yaitu upacara khitanan untuk putra bangsawan yang berusia kira-kira 14 tahun.
Setelah menjalani upacara supitan para bangsawan tinggal di Ksatriyan terpisah dari ibunya dan saudara perempuannya.
Tarapan, yaitu upacara inisisasi haid pertama bagi anak perempuan. Busana yang dikenakan terdiri dari nyamping cindeh, lonthong kamus bludiran, udhet cindhe,slepe, gelang kana, sangsangan sungsun, subang, dan cincin.
Sanggulnya berbentuk tekuk dengan hiasan pethat gunungan. Di bagian tengah sanggul dikenakan bros, lancur, serta peniti renteng sebagai jebehan di keri kanan. Upacara diadakan di Bangsal Sekar Kedaton sebelah selatan Kedaton Kulon.
Upacara ini termasuk upacara intern wanita, sehingga para pria termasuk Sultan tidak boleh hadir dalam upacara tersebut.
Perkawinan, terus hamil, dan ada upacara Nggangsali (5 bulan) dan Mitoni (7 bulan). Usia 9 bulan, bayi lahir.
Brokohan lagi, dan seterusnya.
Itulah beberapa tahapan ritual yang merepresentasikan bagian kehidupan seseorang. Betapa banyak nilai moral yang ingin ditanamkan melalui ritual tersebut.
Kita tentunya tidak mengharapkan hal-hal yang mistik dari upacara tersebut. Hanya sebagai bagian tempaan awal bagi seorang anak manusia menuju hidup yang “nyata”.
Hal-hal yang baik tentu saja imbas yang diharapkan dari pelaksanaan ritual itu bagi si anak di masa depannya.
Bertahap. Ya, memang kita untuk mencapai sesuatu harus melalui tahapan-tahapan. Sejak dahulu kala sebenarnya kita tidak diajarkan melakukan suatu kebiasaan “potong kompas”. Dengan bertahap, hasil yang diharapkan bisa optimal.
Melihat foto yang terpampang, ada satu hal yang menarik. Sebagai sebuah ritual sakral di lingkungan keraton, ternyata hal tersebut sudah bisa dilaksanakan juga di lingkungan “luar beteng”. Selain sebagai upaya nguri-uri budoyo, juga pengharapan yang baik dengan ritual tersebut. Sesuatu hal yang menyejukkan. Di mana untuk sebuah kebaikan, tidak ada alasan untuk tidak boleh ditiru. Sebuah contoh kesetaraan yang sederhana namun dalam maknanya.
Secara pribadi memang belum pernah mengalami ritual semacam itu. Walaupun ada yang pernah dialami, seperti pada prosesi Supitan. Sebuah tuntunan religi yang ternyata sejalan juga dengan tradisi keraton.
Atau mungkin ada yang pernah menjalani ritual itu semua? Wah, sebuah pengalaman yang menarik. Apalagi pada prosesi tedhak siten, ketika sang bayi mengambil benda yang diletakkan di dalam kurungan (prosesi ke 3), suasana pasti gegap gempita diiringi derai tawa dan berbagai komentar hadirin yang menyaksikan. Wow!
Salam!
Kamis, Desember 15, 2005
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar