Jumat, Desember 30, 2005

TTS*

Hello semuwaaa....wah, udah lama yah tak jumpa! Hehehehe...

Di Jumat yang damai dan indah serta merdu ini, ada satu kegiatan yang mungkin sudah aku tinggalkan sejak bertahun-tahun yang lalu...mengisi TTS!!! ^^v

Yah, sebagai sebuah kegiatan untuk mengusir rasa kantuk dan mengasah otak, TTS memang oye!!!!

Image hosted by Photobucket.com

TTS yang aku pilih (gambar terpasang) adalah sebuah TTS dari tabloid olahraga ini. Yah, sebagai pemuda kesayangan remaja putri dan ibu-ibu PKK yg gemar berolahraga, tidak jauh-jauh lah dari dunia olah raga tentu saja...hehehe...

Dan hebatnya, kurang dari 15 menit, sekian soal itu terjawab semua! hmmmm....

Oh, iya, sebentar lagi mau taon baruan neh...rencana sih nggak kemana-mana...paling nonton TV di rumah saja.

Oke yah...met tahun baru deh! Semoga semuanya jadi lebih indah di tahun 2006!

Salam!

*TTS = Teka Teki Silang

Kamis, Desember 15, 2005

Ritual Kehidupan

Kita hidup pastilah merasakan berbagai sensasi yang sangat beragam. Mulai dari ketika kita bangun tidur sampai beranjak ke peraduan untuk sekadar merelaksasikan segala kepenatan.

Begitu seterusnya sampai kita mungkin selalu bergumam, Akh, betapa cepatnya waktu bergulir. Kok, sudah hari Jumat lagi, yah? Antara takjub dan perasaan lega karena besok sudah libur.

Diantara waktu yang luang, aku sempatkan untuk googling tentang hal ritual. Dalam kehidupan terutama. Karena berasal dari Jawa, maka aku coba cari dari bagian yang paling dekat dari kehidupanku itu, hal yang paling mudah dipahami tentu saja.

Ketika kita dilahirkan, sebuah ritual sudah kita jalani, sampai kita melaksanakan apa yang disebut dengan pernikahan. Bahkan ketika pasangan kita melahirkan buah cinta yang menjadi tanda cinta semesta persona.

Ritual itu selalu saja berulang dan terus berulang. Hal yang sebenarnya bisa dijadikan sebuah pegangan hidup bagi kita. Walau mungkin kita merasa belum lengkap karena belum melewati semuanya.

Mungkin ada yang sudah sering mendengar, bahkan melewati fase tersebut. Tapi ada juga yang barangkali belum pernah sama sekali. Yah, hitung-hitung semacam nguri-uri budoyo daerah sebagai sebuah kekayaan dan ritual (adat) yang harus dijaga. Sebuah ritual dari dalam beteng keraton.

Ritual atau upacara yang biasa dijalankan dan bisa mewakili tahapan yang sudah atau akan kita jalani itu antara lain:

Image hosted by Photobucket.com
Bahan Brokohan.

Brokohan, yaitu upacara kelahiran bayi. Sesaji yang disediakan yaitu dawet, gula Jawa (satu tangkep), kelapa, kembang setaman.

Selapanan, yaitu upacara pemberian nama pada bayi yang baru lahir. Upacara itu diadakan pada hari ke-35 setelah kelahirannya.

Image hosted by Photobucket.com
Si anak sedang menapaki jadah warna-warni.

Tedhak Siten, upacara ini diperuntukkan bagi bayi yang berusia antara 5-6 bulan pada saat pertama kali turun ke tanah.
Urutan upacara tedhak siten:
1. Menginjakkan kaki bayi ke atas jadah sebanyak tujuh piring. Artinya agar kelak setelah dewasa selalu ingat tanah airnya.
2. Menaikkan bayi setahap demi setahap ke atas tangga bersusun tujuh yang terbuat dari tebu wulung. Artinya agar ia mendapat kehidupan sukses dan dinamis setahap demi setahap.
3. Memasukkan bayi berikut inang pengasuh ke dalam kurungan dan menanti sampai bayi tersebut mengambil barang-barang yang disediakan dalam kurungan yang terdiri dari buku, pensil, wayang kulit, perhiasan emas berlian, dan mainan. Benda yang pertama kali diambil sang bayi akan melambangkan kehidupannya kelak.
4. Siraman, yaitu memandikan bayi dengan air bunga setaman yang bertujuan agar ia dapat menjalani kehidupan yang bersih dan lurus.

Tetesan, yaitu upacara khitanan untuk putri raja yang berusia 8 tahun. Upacara tetesan diadakan di Bangsal Pengapit sebelah selatan Dalem Prabayeksa. Dihadiri oleh garwa dalem, putra dalem, wayah, buyut, serta canggah.
Selain itu juga abdi dalem bedaya, emban, amping, abdi dalem keparak berpangkat tumenggung serta Rio yang duduk di emper bangsal pengapit. Abdi dalem lainnya berada di halaman sekitarnya.
Busana yang dikenakan untuk upacara tetesan terdiri dari nyamping cindhe yang dikenakan dengan model sabukwala, lonthong kamus bludiran, cathok kupu terbuat dari emas, slepe, kalung ular, subang gelang tretes, dan cincin tumenggul. Sanggulnya berbentuk konde dengan pemanis bros di tengahnya dan hiasan bulu burung bangau yang disebut lancur. Di atas sanggul diletakkan pethat berbentuk penganggalan atau bulan sabit.

Supitan, yaitu upacara khitanan untuk putra bangsawan yang berusia kira-kira 14 tahun.
Setelah menjalani upacara supitan para bangsawan tinggal di Ksatriyan terpisah dari ibunya dan saudara perempuannya.

Tarapan, yaitu upacara inisisasi haid pertama bagi anak perempuan. Busana yang dikenakan terdiri dari nyamping cindeh, lonthong kamus bludiran, udhet cindhe,slepe, gelang kana, sangsangan sungsun, subang, dan cincin.
Sanggulnya berbentuk tekuk dengan hiasan pethat gunungan. Di bagian tengah sanggul dikenakan bros, lancur, serta peniti renteng sebagai jebehan di keri kanan. Upacara diadakan di Bangsal Sekar Kedaton sebelah selatan Kedaton Kulon.
Upacara ini termasuk upacara intern wanita, sehingga para pria termasuk Sultan tidak boleh hadir dalam upacara tersebut.

Perkawinan, terus hamil, dan ada upacara Nggangsali (5 bulan) dan Mitoni (7 bulan). Usia 9 bulan, bayi lahir.
Brokohan lagi, dan seterusnya.

Itulah beberapa tahapan ritual yang merepresentasikan bagian kehidupan seseorang. Betapa banyak nilai moral yang ingin ditanamkan melalui ritual tersebut.

Kita tentunya tidak mengharapkan hal-hal yang mistik dari upacara tersebut. Hanya sebagai bagian tempaan awal bagi seorang anak manusia menuju hidup yang “nyata”.

Hal-hal yang baik tentu saja imbas yang diharapkan dari pelaksanaan ritual itu bagi si anak di masa depannya.

Bertahap. Ya, memang kita untuk mencapai sesuatu harus melalui tahapan-tahapan. Sejak dahulu kala sebenarnya kita tidak diajarkan melakukan suatu kebiasaan “potong kompas”. Dengan bertahap, hasil yang diharapkan bisa optimal.

Melihat foto yang terpampang, ada satu hal yang menarik. Sebagai sebuah ritual sakral di lingkungan keraton, ternyata hal tersebut sudah bisa dilaksanakan juga di lingkungan “luar beteng”. Selain sebagai upaya nguri-uri budoyo, juga pengharapan yang baik dengan ritual tersebut. Sesuatu hal yang menyejukkan. Di mana untuk sebuah kebaikan, tidak ada alasan untuk tidak boleh ditiru. Sebuah contoh kesetaraan yang sederhana namun dalam maknanya.

Secara pribadi memang belum pernah mengalami ritual semacam itu. Walaupun ada yang pernah dialami, seperti pada prosesi Supitan. Sebuah tuntunan religi yang ternyata sejalan juga dengan tradisi keraton.

Atau mungkin ada yang pernah menjalani ritual itu semua? Wah, sebuah pengalaman yang menarik. Apalagi pada prosesi tedhak siten, ketika sang bayi mengambil benda yang diletakkan di dalam kurungan (prosesi ke 3), suasana pasti gegap gempita diiringi derai tawa dan berbagai komentar hadirin yang menyaksikan. Wow!

Salam!

Jumat, Desember 09, 2005

Mengolah rasa

Image hosted by Photobucket.com

Selagi googling, melihat tulisan di sini, perasaan jadi bingung juga. Kenapa sesuatu yang halus harus dilawan dengan sesuatu yang keras.

Olah rasa. Mungkin itu yang bisa membuat hati kita tidak cepat panas ketika menerima sesuatu yang pedas kepada kita.

Bisa dengan membaca, atau juga mengotak-atik kata yang kita punya.

Contoh gampangnya, ketika kita sedang merayu seseorang tuk luluhkan hatinya...hehehe...kita tentu selalu menggunakan kata-kata yang halus dan mengharu biru.

Contohnya...

Was your father an astronout? Cause there's sparkling stars in your eyes.
Or maybe your father was an alien? Cause there's no one like you on earth.


Atau...

Have you seen the mirror lately? The mirror ask to me, where's the most beautiful girl on earth gone?

Trus...

If you have 21 roses, look at the mirror, you'll see 21 beautiful thing and 1 most beautiful thing in the world.

Yang ini...

Do you have any map? cause I've been lost in your heart.
I hope you've learn CPR, cause you've take my breath away.
Your parents must be a king and queen, cause they've made such a beautiful princess like you.


Apalagi...

My doctor will sent you a message, he'll need you to gave back my heart that have been stoled by you.
You are the most gorgeous thing that I've ever seen...


Nah, apa nggak mesam-mesem mbak'e dihujani dengan kata-kata nan syahdu seperti itu? Ya nggak, Mas? :p

Met weekend! Salam!

Kamis, Desember 08, 2005

Hujan di Bulan Desember

Hari Rabu (7/12) siang kemarin hujan kembali mengguyur kota Jakarta. Bukan hujan biasa. Hujan deras yang diselilingi kilatan petir dan angin puting beliung.

Bisa ditebak. Beberapa ruas jalan terjadi genangan, dan tentu saja kemacetan timbul diakibatkan genangan tersebut.

Akibat dari peristiwa alam tersebut antara lain juga menimbulkan beberapa pohon maupun hanya sekadar dahan dan ranting yang roboh.

Nah, hal itulah yang mengkhawatirkan. Bisa dibayangkan apabila kita sedang berkendara, apalagi jika menggunakan sepeda motor, sangat lah menyeramkan jika tiba-tiba pohon yang tepat di atas kita roboh menimpa.

Belum lagi jika mobil kita sedang diparkir di bawah pohon yang besar dan rindang. Ketika hujan lebat berangin terjadi, tidak menutup kemungkinan mobil kita akan ringsek ditimpa pohon yang tumbang.

Yang selalu membuat kita trenyuh, hal itu sudah berulang kali terjadi. Berulang kali musim berganti, hal itu seperti sudah lumrah harus terjadi. Mengerikan.

Kenapa dengan adanya pembagian tugas yang sudah tegas, Dinas Pertamanan sebagai penanggung jawab keadaan pohon perindang di pinggir jalan tidak melakukan tindakan preventif. Sekali lagi preventif.

Dengan kondisi dua musim besar yang dimiliki Indonesia, seharusnya mereka tahu, kapan seharusnya pohon itu rindang, kapan pohon itu harus dipangkas atau dirapikan.

Sehingga ketika musim hujan tiba, tidak ada lagi cerita bahwa ada pohon yang tumbang yang menyebabkan kendaraan atau rumah ringsek, bahkan menimbulkan korban jiwa.

Image hosted by Photobucket.com

Ada satu hal lagi berkenaan dengan pohon perindang. Kalau diamat-amati, sebenarnya kondisi pohon perindang di beberapa tempat, baik di ibu kota maupun daerah lain, kondisinya tidak ideal.

Kekhawatiran tersebut bisa diamati dari pemilihan pohon yang ditanam. Banyak pohon yang tidak layak digunakan sebagai perindang. Selain terlihat rapuh, berdahan kecil, dan tidak memiliki akar yang kuat.

Sebenarnya ketika Belanda menjajah dulu, pernah memberikan pelajaran berharga soal pohon perindang tadi. Kalau kita amati di beberapa tempat, para ahli tata kota Belanda selalu menggunakan pohon Asem sebagai perindang di tengah panasnya kota.

Keunggulan pohon Asem sangatlah lengkap. Mulai dari dahannya yang kokoh, memiliki akar tunggang yang kokoh dan tidak merusak trotoar, memiliki daun yang kecil dan mudah hancur, sehingga ketika terbawa air hujan tidak menyumbat got. Mau apa lagi? Pilihan yang tepat sudah di depan mata.

Salam, yo!

Sabtu, Desember 03, 2005

JJMP*

Ketika mudik minggu lalu, aku sempatkan mampir ke pasar tradisional paling prestisius di Jogja, Pasar (m)Beringharjo. Prestisius sejarahnya, prestisius tempatnya. Maklum, berada di ujung Jl. Malioboro dan berada di jantung kota.

Image hosted by Photobucket.com
Pasar mBeringharjo 1910.

Segala yang kita butuhkan sehari-hari atau biasa kita sebut dengan sembako (sembilan bahan pokok) tersedia di pasar itu. Namun, seiring dengan maraknya raksasa pasar-pasar retail di Jogja, sedikit banyak mengurangi jumlah pengunjung pasar. Kebersihan dan tatanan yang lebih moderen membuat pengunjung berpaling. Tapi tetap, kurang afdol berbelanja kalau belum belanja di pasar mBeringharjo.

Ke mBeringharjo sendirian? Oh, tentu saja tidak! Hehehehe...Ditemani ibunda tercinta, dong. Sebagai penawar handal, ibu harus diikutsertakan. Yah, melepas kangen dengan cara yang alternatif! ^^

Nah, aku pergi ke pasar tersebut untuk keperluan membeli apa yang biasa kita sebut dengan cowek. Cowek bukan cowok cewek. Tapi sejenis alat untuk melembutkan atau mengolah bumbu masak dengan cara di-uleg. Pasangan dari cowek itu adalah alat peng-uleg-nya, yang biasa disebut dengan munthu. Oke kalau buat melempar maling. Dijamin kelenger! :p

Image hosted by Photobucket.com
Dwi Tunggal: Cowek dan Munthu

Kebetulan asisten rumah tangga di Jakarta sangat butuh alat masak itu. Maklum, cowek berbahan batu kali yang berkualitas ternyata sudah sangat susah ditemukan di Jakarta. Yang ada kebanyakan berbahan lapisan semen ataupun dari kayu. Tidak awet.

Selain itu di Jakarta segalanya serba praktis. Segala bumbu masak sudah tersedia dalam berbagai kemasan. Tetap, yang alami lebih afdol, lebih nendang rasanya. Untuk itulah aku berkelana di mBeringharjo.

Urusan membeli cowek beres, jalan-jalan mblusuk pasar dilanjutkan.

Tidak jauh dari mbok-mbok yang jualan cowek, terhampar jajaran bahan untuk membuat jamu tradisional. Wuah, baunya itu lho, menyengat! Bagaikan sedang di-aromatheraphy. Hehehehe....

Image hosted by Photobucket.com
Hamparan bahan-bahan jamu.

Ternyata bangsa kita sangat kaya bahan untuk jejamuan itu. Alami. Antara lain ada:
- Jinten
- Adas kulo waras
- Temu lawak
- Temu giring
- Temu ireng
- Kunyit
- Kencur
- Sunthi
- Kapulogo
- Krangean
- Pujang
- dan masih banyak yang lainnya.

Kalau aku sih, jamu tahunya ya, kunir asem. Yang manis-manis pokoknya. ^^

Untuk sehat, ternyata bahannya ada di sekitar kita. Di Jakarta, cari di mana, yah? Wah, jangan-jangan perlu impor dari Jogja, nih? :p

Salam!

JJMP*: Jalan-jalan mBlusuk Pasar.